Tuesday, April 30, 2013

Buruh dan Keadilan Sosial


Buruh dan Keadilan Sosial
Oleh: Mario Wiran
(Ketua Presidium PMKRI Yogyakarta “Santo Thomas Aquinas”)


“Upaya untuk meningkatkan keharmonisan dan produktivitas kerja kaum buruh tak pernah mau basi dan tak pernah berhenti, berkobar laksana api yang menjilat-jilat”
Bernard Cracroft (Pakar masalah perburuhan)


Berbicara soal keadilan sosial tak terlepas dari apa yang disebut dengan kemakmuran sosial, karena keduanya merupakan dua hal pokok yang tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat makmur yang dapat disebut sebagai masyarakat yang adil, meskipun pada kenyataannya kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang menyusahkan Dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.
Pancasila merupakan dasar Negara yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sudah selayaknya setiap warga Negara harus tunduk, patuh, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat baik dalam aktivitas sosial, politik, budaya dan ekonomi. Sebenarnya jika saja pemerintah benar-benar mau menjalankan pemerintahannya dengan berpegang pada nilai-nilai Pancasila dengan konsisten maka kesejahteraan bagi rakyat terutama kesejahteraan buruh dapat tercipta. Namun hari ini dalam kenyataannya penerapan nilai-nilai luhur pancasila masi jauh dari harapan luhur yang tekandung didalamnya. Dalam hal ini ternyata kesejahteraan kehidupan kaum buruh di Indonesia masi terabaikan.
Kondisi kekinian menunjukan bahwa ketidkadilan dan pemerkosaan hak pekerja/buruh masi saja terjadi. Terutama perilaku para majikan terhadap pekerjanya. Dimana kaum buruh harus dihadapkan dengan sang majikan sebagaimana pertarungan antara yang kuat dan yang lemah. Sejarah mencatat bahwa persaingan ternyata tidak hanya soal perdebatan belaka tetapi lebih dari itu sampai pada persaingan saling bunuh hanya untuk memproduktivitaskan tenaga kerjanya dengan cara menhalalkan berbagai macam cara. Dalam hal ini, kaum buruh/pekerja dipandang hanya sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan bahkan tenaganya dikuras habis-habisan. Sedangkan upah minimum yang diperoleh minim sekali sehingga tak heran para buruh/pekerja masi hidup tak berkecukupan. Hal ini mengakibatkan sehingg upaya untuk terus menuntut keadilan hingga saat ini terus dilakukan.
Menghadapi kondisi seperti itu maka didirikan Sarikat Pekerja di pelbagai perusahaan yang diharapkan mampu menjembatani kepentingan kaum buruh dan majikan. Namun kenyataannya, kehadiran Sarikat Pekerja pun tak bisa berbuat banyak, karena harus berhadapan dengan aturan yang dibuat Manajemen, tidak terkecuali aturan dari pemerintah selaku regulator. Parahnya justru bila regulator tidak tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan kaum buruh. Akibatnya kejomplangan yang lebih pro pada sang majikan atau perusahaan semakin mencolok mata.
Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan menjadi bukti yang jelas menunjukan bahwa pemerintah sama sekali tidak memperhatikan nasib kaum buruh. Perlu diakui bahwa Pemerintah pasti perlu menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk mendorong perkembangan dunia usaha di Indonesia. Namun, sudah selayaknya pemerintah juga perlu untuk memperhatikan dan mejamin keadilan bagi  tenaga kerja. UU N0. 13 tahun 2003 pasal 54 “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa buruh/pekerja yang dibuat secara tertulis” menjadi celah yang menguntungkan bagi pelaku pasar di Indonesia, baik itu pengusaha domestic maupun pengusaha asing, untuk mendapatkan tenaga kerja dengan sangat murah. Semakin murah biaya tenaga kerja, maka semakin efisien biaya operasional dan semakin besarlah keuntungan yang diraih. Hal ini sangat jelas telah mengabaikan nilai-nilai luhur dari Pancasila. Sistem kerja tersebut sangatlah tidak berkemanusian yang adil dan beradab terhadap kaum pekerja, dan lebih mirip dengan modern slavery atau perbudakan moderen yang dilakukan pemerintah terhadap kaum pekerja. Kaum pekerja dijual belikan tanpa memikirkan masa depannya.
Kaum buruh adalah bagian dari bangsa Indonesia.Kaum buruh pun juga merupakan anak bangsa yang harusnya hidupnya dilindungi dan dijamin oleh Negara. Nasib mereka sejauh ini sangat tidak beruntung, karena hidup mereka tergantung dari upah yang pas-pasan. Apalagi untuk menghidupi keluarganya, untuk dirinya sendiri saja jauh dari cukup. Tidak mengherankan kalau dari waktu ke waktu terjadi unjuk rasa dikalangan para buruh. Unjuk rasa biasanya dilatar-belakangi oleh masalah hak-hak kaum buruh yang berupa upah, cuti hamil/haid untuk buruh perempuan, tunjangan, masalah hari libur yang diabaikan oleh pihak pengusha. Unjuk rasa yang dilakukan terus menerus ternyata kurang membuahkan perubahan yang baik terhadap nasib kaum buruh.
Dalam Hubungan Industri Pancasila (HIP) dikatakan bahwa buruh dan industri merupakan mitra kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya Negara mempunyai peran besar untuk memediasi antara kepentingan buruh dan industri. Namun hingga saat ini konsep ini sulit diterapkan, karena Negara sendiri mempunyai kepentingan dalam mengelola hubungan industrial. Negara Indonesia hingga saat ini masi berparadigma develeomentalism dengan pertumbuhan ekonomi sebagai basis utama, menekan pertumbuhan industri sehingga mampu menghasilkan tingkat kontributif  yang tinggi dari dunia industry terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini memperjelas bahwa setiap regulasi yang ada sama sekali tidak memihak kaum buruh. Negara harusnya lebih memperhatikan realitas para pekerja karena sudah termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Terutama sila ke lima yakni keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya bahwa manusia Indonesia harusnya menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan social dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan sikap adil terhadap sesame, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
Upaya untuk memperjuangkan keadilan social terhadap kaum buruh membutuhkan sikap pro aktif dan sinergitas dari semua elemen masyarakat. Baik pemerintah, mahasiswa, buruh dan media sebagai salah satu pilar demokrasi. Kita tidak bisa duduk diam, berpangku tangan dan menyerahkan nasib kepada pemerintah dan pengusaha tetapi dengan perjuangan, pergerakan yang massif dan continue yang akan membuat kaum buruh terlindungi, memperoleh kepastian kerja, upah yang layak, yarat dan kondisi kerja yang baik, hokum atau undang-undang yang pro buruh dan yang terpenting adalah cita-cita besar untuk membuat kesejahteraan dan keadilan dapat menjadi kenyataan. (Semoga)
Pro Ecclesia et Patria !

No comments: