Monday, December 1, 2008

Catatan Kecil bagi PMKRI di Penghujung MPA ke XXV - 2008

Tentang Strukturasi Anthony Giddens sebagai
Jalan Menuju Pengubahan
Catatan Kecil bagi PMKRI di Penghujung MPA ke XXV - 2008

A. Sekilas tentang Anthony Giddens

Anthony Giddens dilahirkan di Edmonton, London utara, Inggris. Ia memperoleh gelar BA dibidang sosiologi dan psikologi, namun gelar Ph.D.-nya di bidang ekonomi. Hingga saat ini ia menjadi profesor dan memberikan kuliah sosiologi dan ilmu pengetahuan politis di Cambridge dan Leicester University.

Topik utama pemikiran Giddens adalah tentang globalisasi, teori strukturasi, dan refleksitas. Refleksitas mengacu pada dugaan bahwa individu dan masyarakat digambarkan tidak hanya dengan sendirinya tetapi berhubungan satu sama lain yang secara terus menerus menggambarkan diri mereka lewat aksi reaksi dan informasi baru. Globalisasi menurut Giddens bukan sekedar perkiraan ekonomi belaka melainkan juga intensifikasi hubungan sosial seluruh dunia yang menghubungkan tempat jauh dan lokal, peristiwa yang jauh menjadi peristiwa lokal. Sedangkan strukturasi bahwa dalam rangka memahami suatu masyarakat, tidak bisa dilihat semata-mata pada tindakan individu atau sifat alami struktur yang memelihara masyarakat, keduanya harus di uji.

Karya Giddens yang terkenal adalah tentang run away world yang menjelaskan tentang bagaimana dunia kontemporer saat ini yang semakin berkembang menjadi tanpa batas. Begitu pula dengan McDonaldlisasi yang menjelaskan bahwa dunia semakin homogen, terpusat, dan tiran meskipun tampak luarnya kelihatan heterogen, prural, dan demokratis.

Dalam tulisan singkat ini, saya sengaja memilih teori strukturasi Giddens untuk menganalisa kondisi sine qua non (prasyarat mutlak) bagi PMKRI untuk melakukana pengubahan struktur di dalamnya. Tentu saja tulisan ini adalah buah pengamatan ‘orang luar’ yang dapat saja dianggap lemah ‘tradisi kanonik’-nya. Namun, tetap saja saya berharap agar PMKRI tetap dapat mengaplikasikan analisa ini dalam usahanya menjadi ‘struktur’ yang lebih ‘visioner dan misioner’.

B. Mengapa “Strukturasi” perlu diperhatikan?

Telah begitu sering kita mendengar kata ’struktur’ dalam kehidupan sehari-hari; terutama dalam diskusi di kalangan intelektual. Namun demikian, adakah kita mengerti arti struktur itu sendiri? Struktur sosial adalah praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu (misalnya: hubungan guru dan murid yang terjadi karena pelajaran yang terus menerus diampu dan diterima). Hasil praktik sosial ini kemudian membentuk sistem dan institusi sosial, serta skema dalam pikiran individu.[1]

Unsur-unsur dari sebuah struktur selalu meliputi: prinsip tindakan, perilaku pelaku, dualitas struktur.[2] PMKRI sebagai sebuah struktur juga memiliki tiga unsur yang saling berpadu ini. Jelas bahwa PMKRI memiliki prinsip bersama, entah dalam gnomik Pro Ecclesia et Patria atau dalam tiga pilar utamanya: Kristianitas, Intelektualitas dan Fraternitas.

Perilaku pelaku dalam struktur PMKRI juga dengan jelas dapat dilihat – ada anggota yang sungguh berusaha menjadi kader yang serius dan sungguh bagi Gereja dan bangsanya walau dalam tindakan kecil dan sederhana, sementara ada pula anggota yang sibuk dengan ’hal-hal besar’ demi kepentingan dan ambisi pribadi atau golongan tertentu saja.

Unsur ketiganya, dualitas struktur, diartikan oleh Giddens sebagai realitas yang tak terpisahkan antara Anda atau pribadi tertentu dengan struktur sosialnya. Struktur PMKRI tak akan mungkin ada bila Anda semua tak ada dan tidak juga mengambil bagian di dalamnya. PMKRI dapat terbentuk sebagai struktur karena ’adanya’ masing-masing anggota; walau dalam realitasnya kadang dengan enteng kita dapat menggangap anggota yang lain dapat saja tak ada karena ’modalitas’nya yang hanya kecil dan remeh saja. Padahal, bila dualitas struktur merupakan harga mati dari sebuah struktur, macam PMKRI, mestinya konsep egalitarian secara otomatis lekat dengan hidup struktur itu. Dualitas struktur – sebagiamana akan kita bahas lebih lanjut – juga mengandaikan adanya hubungan agensi (pelaku) yang tergabung dalam struktur dengan pengubahan (baca: praxis) struktur itu sendiri.

Oleh karena hubungan yang lekat antara pelaku dan struktur dalam teori dualitas struktural Giddens ini, struktur juga dapat sekaligus diartikan sebagai sarana, sejauh itu berguna. Contoh paling nyata adalah para penganggur yang stress karena ia tidak punya “struktur hidup” – sebuah hubungan sosial di mana ia dapat mengaktualisasikan dirinya. Pekerjaan memang dapat menjadi contoh dari struktur hidup kita. Ada banyak orang yang tidak mau menganggur sekalipun diberi uang banyak. Dan tahukah Anda, penelitian membuktikan bahwa pegawai kantoran lebih memilih untuk pergi bekerja ke kantor daripada mengerjakan pekerjaannya di rumah walau hasilnya beres. Orang tetap butuh pergi ke kantor sebagai strukturasi hidup; karena dengan berangkat ke kantor dan memperoleh interaksi sosial tertentu lalu ia mendapatkan makna dari pekerjaannya. PMKRI sebagai sebuah struktur juga memungkinkan adanya ’struktur-struktur hidup’ – di mana anggotanya dapat menemukan kegunaan tertentu atau bahkan pemenuhan kebutuhan tertentu. Bila kita hendak menelisik hal ini dengan piramida kebutuhan Abraham Maslow – yang telah begitu klasik namun tetap mengusik – mungkin dapatlah kita mnegerti dengan lebih baik perpecahan yang terjadi dalam tubuh PMKRI beberapa waktu yang lalu. Sebagai sebuah ’struktur’, hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis dari perbedaan kepentingan para anggotanya yang menemukan ’kegunaan’ tertentu dari PMKRI – entah sebagai sarana ’cari makan’ (pemenuhan kebutuhan biologis pada level terbawah piramida kebutuhan Maslow) atau sebagai sarana ’aktualisasi diri’ (pada level tertingginya). Sebenarnya hal ini sangat wajar dalam sebuah organisasi yang memiliki struktur yang rapi dan teratur. Kita akan membahas soal motivasi tindakan manusia dalam struktur dan bagaiamana seharusnya ’keterarahan’ itu dibangun secara lebih mendalam pada bagian akhir tulisan ini

Sebelumnya, pantaslah kita mencatat beberapa poin yang menurut Anthony Giddens berpengaruh terhadap struktur, antara lain:
1. Konstelasi sosial: posisi kita (agensi) di tengah ‘yang lain’ menentukan sejauh mana kita dapat ‘bersuara’. Pada tataran eksternal, PMKRI sebagai sebuah organisasi ‘elite’ para mahasiswa Katolik telah mempunyai posisi cukup strategis yang pun secara historis telah banyak menghasilkan buah baik. Pentinglah bagi masing-masing anggota untuk menyadari ’eksklusifitas’ (baca: kelebihan) PMKRI di tengah pergerakan nasional. Pada tataran internal, PMKRI sendiri memang harus mempertanyakan bagaimana hubungan antar anggotanya sendiri. Apakah semangat persaudaraan di antara anggota cabang masih diwarnai bayang-bayang ’daerah yang menghamba pada pusat’ atau ’anggota biasa yang tunduk pada ketua’? Ini adalah pertanyaan penting bagi PMKRI! Tanpa semangat kesetaraan, tak mungkin PMKRI dapat mencapai konstelasi sosial yang kondisif untuk bertumbuh dan berkembang.
2. Capital simbolik: pengakuan sosial (sejauh diakui oleh orang lain). Penjelasan poin ini hampir senada dengan bagian pertama. Hanya saja, capital di sini harus dibaca sebagai ’peta kekuatan’ atau ’inventarisasi kekuatan’ PMKRI yang diakui oleh entitas lain. PMKRI hanya dapat berpengaruh pada struktur ’kebangsaan’ bila ia dipandang dan diakui sebagai organisasi yang cakap dan solid. Bila terjadi perpecahan di dalamnya dan saling tuding antar anggotanya, di manakah lagi ’peta kekuatan’ itu dapat terbaca oleh masyarakat? Soal fraternitas yang menyeruak akhir-akhir ini baru satu hal saja. Sempatkah juga, misalnya, PMKRi berpikir mengenai kualitas kader-kadernya saat ini di hadapan – meminjam istilah Paus Yohanes Paulus II – perangai ’budaya kematian’ yang makin menggila? Jangan-jangan dengan tekanan pada ’kuliah untuk nanti bekerja’, para anggota PMKRI justru jadi makin anteng dan memilih area aman serta dengan perlahan membungkam suara-suara kritis terhadap isu sosial di sekitarnya. Apakah ada di antara anggota PMKRI (muda!) yang mengerti betul sejarah pemikiran ’kiri’ yang khas dengan kritik dan keberanian untuk melawan itu?
3. Budaya dominan yang berlaku. Hal ini sebenarnya pertama-tama merujuk bukan pada budaya per se, melainkan pada etika sosial. Etika sosial tidak hanya didasarkan pada premis-premis logis saja, tetapi juga pada pengakuan atau persetujuan massa. Misalnya, ketika cap “PKI” diidentikan dengan sesuatu yang sangat buruk oleh dominan masyarakat, maka tatanan nilai yang mestinya logis pun (jangan membunuh sesama, contohnya) dapat dijungkirbalikkan. Dengan keyakinan umum bahwa PKI adalah jahat, maka tak ada rasa salah bila membunuh mereka yang dicap sebagai PKI. Untuk PMKRI, saya kira soal ’etika sosial’ yang menjadi dasar bersamanya sangat jelas tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta banyak semboyan mulia lainnya. Namun soalnya adalah, apakah nilai-nilai rupawan itu menjadi ’dominan’ dalam internal PMKRI sendiri? Atau sebaiknya, kita bertanya: budaya atau etika apa yang dominan dalam tubuh PMKRI sendiri? Jangan-jangan bukan kita yang ’menggarami’ masyarakat dengan nilai-nilai Kristus, malah justru kita yang ’tergarami’ oleh nilai-nilai ’kematian’ yang dominan hidup di tengah masyarakat. Apakah anggota PMKRI ada yang sempat (atau bahkan doyan) korupsi? Apakah ada anggota PMKRI yang haus kekuasaan, pangkat dan harta? Apakah ada anggota PMKRI yang malah mebelot jadi pendukung setia partai yang melanggengkan borjuasi? Pada poin ini, pantaslah kita berefleksi: siapa yang menjadikan nilai-nilai itu dominan?

C. Praxis yang Menantang Semua
Bukan maksud saya untuk menggurui PMKRI dengan rentetan pertanyaan tadi. Saya hanya menawarkan sebuah instrumen yang dapat dipakai oleh masing-masing individu anggota untuk ’menjadi lebih visioner dan misioner’. Dua kata kunci ini, menurut hemat saya, harus dikaitkan dengan praxis agar tidak tinggal sebagai judul yang mentereng.

Praxis tidaklah sama dengan praktik. Praxis di sini dimengerti sebagai bagian dari trilogi keilmuan yang digagas oleh Plato: theoria, poecis dan praxis. Bila theoria mengandung unsur-unsur deskriptif (teori) ilmu dan poecis diartikan sebagai tindakan mencipta dan menggerakkan (rasa), maka praxis dikaitkan dengan aktivitas kreatif; aktivitas yang membentuk, mengubah, merombak sejarah dan individu. Ya! PMKRI harus menjadi wahana di mana mahasiswa Katolik dapat menciptakan sejarah tersendiri bagi Gereja dan bangsanya; bukan justru menjadi korban sejarah.

Saya melihat ada bahaya dari golongan senior yang terlalu membangga-banggakan masa jaya PMKRI di masa lalu (yang juga dibarengi dengan unsur ketokohan yang sangat kuat). Rasa bangga berlebih ini berbahaya karena dapat membuat generasi senior tak mampu secara realistis memberi masukan dan generasi yang sekarang menjadi ilusif serta inferior (baca: ”ah, kita kan gak sehebat para senior kita!”).

Menurut hemat saya, konsep praxis merupakan salah satu kata kunci bagi PMKRI untuk dapat lebih hidup. PMKRI harus mengikuti apa yang dinamakan ’lingkaran praxis’. Lingkaran Praxis dimulai dengan terbuka terhadap pengalaman, lalu diikuti metode, refleksi, serta akhirnya kembali kembali ke praxis dan begitu seterusnya. Maka, hal pertama yang dapat dibuat adalah terbuka terhadap pengalaman dan mau secara jujur menilai-menimbang pengalaman tersebut. Keterbukaan macam inilah yang dapat menjadikan PMKRI lebih realistis mengenali siapa dirinya dan sekuat apa ’giginya’ saat ini dalam mengubah struktur. Bila pun ditemukan bahwa PMKRI kini telah lemah dan menyusut kuantitas dan kualitasnya, toh hal itu diakui dengan besar hati dan tekad serta tindakan strategis untuk memperbaiki diri. Inilah yang dinamakan Giddens sebagai sebuah kesadaran diskursif atau diskursif. Kesadaran refleksif/diskursif adalah kesadaran untuk mengubah makna, melawan arus dan memungkinkan perubahan struktur sosial walaupun tak secara otomatis. Pengubahan struktur sosial membutuhkan kesadaran refleksif dari semakin banyaknya org yang sadar-refleksif; juga termasuk struktur PMKRI jika ia berniat mengubah diri. Tapi sekali lagi, niat saja tidak cukup karena dibutuhkan praxis dan tindakan konkret dari mereka yang terlibar di dalamnya. Inilah yang akan kita bahas dalam ’dualitas struktural’ sebagai jalan menuju pengubahan struktur.


D. Dualitas Struktural: Jalan menuju Pengubahan Struktur


Arti diagram di atas:
1. Semua bentuk interaksi yang berulang dan perilaku terulang akan membentuk struktur, sedangkan kualitas struktur akan sangat ditentukan oleh modalitas (capital): INTERAKSI – MODALITAS – STRUKTUR.
2. Dalam masyarakat kita ada tiga dimensi yang akan selalu ada dalam interaksi/hubungan antar manusia:
- komunikasi
- kekuasaan
- sanksi
3. Kualitas komunikasi menghasilkan pemaknaan yang ditentukan kualitasnya oleh kerangka penafsiran. Misalnya: saya menjadi curiga dan bertindak preventif terhadap Andi karena Budi memberitahu saya bahwa Andi sebenarnya adalah seorang pencuri. Maka dalam perjumpaan itu, kerangka penafsiran saya akan berubah dan memperburuk suasana/hubungan.
4. Bila dasar interaksi adalah kekuasaan (kekuasaan fisik, kekuasaan ekonomi, budaya dominan, capital sosial/pengakuan publik), maka ia kemudian akan menentukan struktur dominasi. Dominasi menyangkut capital fisik (siapa yang punya otot lebih kuat dan tenaga lebih besar), capital ekonomi (siapa yang punya uang lebih banyak), capital budaya (siapa yang intelektualitasnya lebih yahud), capital sosial (siap yang memiliki jaringan sosial lebih luas). Capital-capital tersebut akan menghasilkan dominasi yang membuat akses ke fasilitas menjadi lebih besar.
5. Dan akhirnya, bila interaksi sosial dibangun atas dasar moralitas, maka para pelakunya akan menentukan struktur legitimasi. Contoh paling mudah adalah struktur Gereja sebagai penerus hukum moral akan selalu dianggap memiliki kuasa dalam menentukan apakah Lisa salah bila melakukan abortus.

Lalu bagaimana jalan pengubahan struktur yang ditawarkan dari diagaram di atas?

Kita semua melihat betapa sentral dan pentingnya peran interaksi dan modalitas dalam menentukan struktur. Supaya terjadi perubahan harus ada dualisme (jarak antara pelaku dan struktur). Dualisme berbeda dengan dualitas, di mana pelaku dan struktur tidak terpisah. Ketika pelaku mampu mengambil jarak terhadap struktur maka obyetifikasi akan lebih mudah terangsang dan kejujuran dengan lebih baik diperoleh. Gampangnya, anggota PMKRI harus menempatkan diri sebagai ’orang luar’ dalam menilai struktur PMKRI dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Pengambilan jarak ini dibutuhkan agar kita tidak terbius oleh ideologi sendiri dan menilai secara lebih obyektif; bila perlu bandingkan dengan organisasi mahasiswa lain yang lebih berkembang.

Hal ini akan membantu kita menjadi lebih realitis dalam menentukan arah dan gerak kita sebagai PMKRI. Bila Anda ingin PMKRI berubah menjadi lebih baik, tidaklah cukup kehendak dan niat baik saja. Anda memerlukan sebuah inventarisasi modalitas dalam masing-masing interaksi baik secara individual maupun komunal. Misal, dalam interaksi ’komunikasi’, kira-kira modalitas apa yang dapat ditawarkan oleh PMKRI untuk mengubah citra umum yang negatif setelah terjadinya perpecahan belakangan ini? Dalam interaksi kekuasaan, kira-kira PMKRI paling kuat di bidang apa? Ekonomikah? Intelektualitas-kah? Ideologi-kah? Silahkan temukan sesuai dengan lokalitas masing-masing anggota.

Inventarisasi ini penting dan oleh karenanya saya memberikan contoh secara gamblang tabel berikut sebagai bahan analisa cabang:



Kesimpulan pada bagian ini sebenarnya cukup sederhana: perlulah dipertimbangkan dan diperjelas modalitas apa yang telah kita miliki sebelum mengusulkan suatu gerakan pengubahan agar kita menjadi lebih realistis dalam menentukan langkah berikutnya. Yang penting juga untuk diingat adalah bahwa pola komuniaksi tadi selalu berkait erat satu sama lain. Maka, silahkan juga memperhatikan apakah program praxis PMKRI menjadi lebih baik itu juga memperhatikan tiga wilayah tersebut secara penuh; terutama di interaksi kekuasaan.

Jangan bangga bila Anda sampai pada kerangka penafsiran saja, karena hal ini baru pada awal tindakan mengubah. Reformasi 1998 dapat dikatakan kurang berhasil karena modalitas masih dimiliki regime lama dan norma yang ada masih mendukung regime lama. Setelah Soeharto lengser, mekanisme parlemen tidak berubah dan Golkar tetap berjaya di daerah dan di kalangan PNS, para pejabat pemerintahan sebagian besar juga masih berkiblat ke Cendana. Jadi, lengsernya Soeharto dalam reformasi 1998 dapat dikatakan baru sebagai usaha mengubah kerangka penafsiran sementara modalitas tetap ada di tangan antek-anteknya.

E. Beranikah PMKRI menjadi Visioner dan Misioner?
Akhir kata, semoga analisa filosofis yang juga ternyata sangat pragmatis ini membantu teman-teman sekalian untuk berani mulia merombak wajah PMKRI menjadi lebih baik. Menjadi visioner dan misioner memang tak semudah yang yang dislogankan oleh tema, tetapi kita toh tetap boleh berharap pada Dia yang telah memulai karya baik di tengah kita dan yang akan pula menyelesaikannya dengan sorak-sarai banyak orang.


In Corde Jesu,
Fra. Albertus Joni, SCJ





[1] Perlu digarisbawahi bahwa struktur sosial tidak sama dengan stratifikasi sosial.
[2] Dualitas pada poin ini diartikan oleh Giddens sebagai realitas yang tak terpisahkan antara Anda atau pribadi tertentu dengan struktur sosialnya.

Friday, November 21, 2008

TAHUN KAUM MUDA KAS

Tahun Kaum Muda 2009 dan Generasi Mahasiswa KKN

Tahun 2009 merupakan masa yang diberi khusus oleh Keuskupan Agung Semarang bagi Kaum Muda. Tahun Kaum Muda, demikian kira-kira kita menyebutnya. Sebuah bentuk perhatian, keprihatinan, dan harapan bagi gereja muda yang kelak akan menjadi wajah gereja dan Kristus yang hadir ditengah dunia.


Kaum muda Katolik tidak statis dan terpusat pada satu ruang dan waktu. Kaum muda tersebar di ranah pendidikan, budaya, social, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Setiap saat melahirkan generasi baru yang selayaknya siap menopang aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mahasiswa katolik adalah satu bagian penting yang tak boleh dilupakan dalam konteks kaum muda katolik. Dalam sejarahnya, mahasiswa katolik telah menyumbangkan perannya secara signifikan dalam sejarah panjang bangsa ini. Melalui PMKRI yang lahir di tahun 1947 di Yogyakarta, telah banyak kader mahasiswa katolik menjadi ujung tombak perubahan tatanan masyarakat kita. Semua itu adalah catatan sejarah kendati sumbangan yang besar itu kian hari kian redup oleh karena tergerusnya minat dan panggilan untuk berpartisipasi dalam upaya perubahan bangsa ini menuju kondisi yang lebih baik ; adil, berprikemanusiaan, dan sejahtera.

Generasi KKN

Mahasiswa adalah agen perubahan. Demikian kata aktivis dan banyak kalangan untuk menunjukkan sisi positif panggilan dan perjuangan mahasiswa dalam pelbagai persoalan bangsa ini.

Benarkah demikian?

Dalam catatan sejarah perjuangan gerakan kemahasiswaan demikianlah memang adanya. Tidak sedikit mahasiswa yang mengorbankan waktu, tenaga, harta, bahkan nyawanya untuk bisa mendorong terjadinya perubahan. Perubahan atas pemerintahan yang otoriter, sistem yang bobrok, sikap represif dan pelbagai bentuk ketidakadilan lainnya yang berlangsung dalam banyak aspek kehidupan kita.

Namun bila kita melihat realita sosial sekitar kita, di dalam lingkungan kita sendiri sebagai mahasiswa, jauh lebih banyak mahasiswa dalam ketidaksadarannya justeru menjadi agen perubahan yang membuat masyarakat dan bangsa kita terperosok. Secara tidak langsung, mahasiswa dalam rantai panjang persoalan bangsa ini justeru meneruskan budaya dan pola pikir “titipan” yang pada akhirnya mendestruksi tatanan keadilan yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh sebagian rekan mereka.

Mahasiswa pula yang menjadi agen yang merubah tatanan masyarakat, norma dan moral budaya secara terbalik akibat derasnya arus informasi yang tidak mampu dipilah lewat pelbagai media yang kian marak. Mahasiswa menjadi korban budaya pop barat yang sebenarnya tidak siap untuk diserap, diserang lewat pelbagai media dalam ruang dan waktu yang berbeda. Seolah tanpa itu semua, mahasiswa menjadi pribadi yang tidak bebas dan menemukan jatri dirnya. Tidak merasa Gue Banget tanpa menggunakan busana model terbaru dan merek ternama, makan di resto-resto Amerika, clubbing, dan aktivitas lain yang selaras dengan gaya hidup kaum muda pop di barat.

Mahasiswa model ini adalah kita yang lebih pantas disebut sebagai Generasi Mahasiswa KKN. Generasi yang taunya hanya Kuliah, Kos, dan Nongkrong. Seluruh aktivitas dan ruangnya tidak pernah jauh dari tiga hal tersebut. Kuliah diapandang sebagai satu syarat menjadi manusia ber-gelar, Kos sebagai ruang aktualisasi sikap individualisme diri, dan Nongkrong menjadi satu ritual baru dimana sikap hedon diwujudkan dengan kesenangan.

Mahasiswa generasi KKN adalah perwujudan oposisi kuat terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri. Secara kasat mata, mahasiswa justeru berperang melawan dirinya sendiri. Hal inilah yang menggerogoti tubuh besar gerakan kemahasiswaan. Melemahkan dan meracuni strukur perjuangan kaum intelektual kampus. Mahasiswa kemudian harus bertarung pada medan kampus dengan wacana mereka sendiri. Bertarung untuk membuktikan sikap mana yang lebih penting dan utama. Pada titik ini mahasiswa kehilangan fokus peran dan tanggungjawabnya sebagai elemen penting bangsa ini.

Satu Hulu Beda Muara

Bila gerakan mahasiswa yang kian lemah itu masih memiliki bentuk dan terstruktur pada titik yang sama, maka sebaliknya mahasiswa generasi KKN secara sporadis tersebar disetiap ruang. Menjadi yang dominan pada setiap ruang. Kendati tanpa komando, toh mahasiswa generasi KKN adalah mahasiswa yang oleh ketidaksadarannya berpengaruh besar dalam memperlemah posisi rekannya di gerakan kemahasiswaan. Dan hal ini jelas menguntungkan penguasa dan pengusaha yang sepanjang sejarah kerap menjadi sasaran kritik intelektual kampus dan gerakan kemahasiswaan.

Memang tidak terlalu tepat membagi karakteristik mahasiswa hanya pada mereka yang suka memperjuangkan visi kebangsaannya lewat gerakan mahasiswa dan mereka yang bersikap apatis dan memilih menjalani hidup tanpa kepedulian besar akan dinamika sosial kemasyarakatan. Kendati demikian ini adalah pembacaan yang dalam hemat penulis berlangsung dalam kurun waktu terakhir ini.

Memang kedua karakter itu berada dalam tubuh yang sama. Mahasiswa memang adalah manusia kampus yang hidup dalam ruang yang sama namun bergerak menuju suatu ruang yang berbeda. Bila arah gerakan kemahasiswaan diliaht dari sikap memperjuangkan dan menyatakan visinya di setiap aktivitas gerakan, maka berbeda dengan mahasiswa generasi KKN. Tidak ada yang mempu memahami dan memprediksi secara utuh visi dan mimpi mereka. Tidak ada yang mampu memahami secara utuh hendak kemana generasi ini. Mahasiswa pada akhirnya berada pada keadaan satu hulu beda muara.

Membangun Ruang bagi Kesadaran

Tidaklah bijak saat melakukan klaim sepihak atas sebuah masalah yang dihadapi bersama. Gerakan mahasiswa menuding pilihan lain diluar mereka sebagai sebuah posisi yang tidak cerdas, sementara sebaliknya generasi mahasiswa KKN memandang pilihan di gerakan adalah kesia-siaan.

Situasi ini justeru yang melemahkan tidak hanya gerakan mahasiswa maupun generasi mahasiswa KKN ini tetapi juga proses perubahan yang selalu diimpikan seluruh elemen bangsa ini. Sama sekali tidak produktif terhadap laju gerakan kemahasiswaan yang memimpikan sebuah bangsa yang adil dan sejahtera.

Adalah lebih baik dan hemat energi ketika setiap elemen gerakan mahasiswa membangun ruang yang lebih besar dan mampu membawa mahasiswa generasi KKN untuk sampai pada kesadaran mereka atas panggilan dan peran di dalam masyarakat. Membangun ruang yang edukatif dan dialogis untuk menunjukkan dampak ketidakpedulian kita terhadap situasi genting bangsa ini yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan soal-soal baru. Sinergi antar gerakan, komunitas, maupun pers mahasiswa adalah satu dari sekian banyak pilihan dari amunisi terakhir peperangan melawan kapitalisme global yang diproteksi oleh regulasi yang tidak memihak rakyat. Regulasi yang dipermainkan demi keuntungan oleh pemerintahan yang antipati terhadap kebutuhan rakyat dan bangsa ini.

Demikian halnya mahasiswa generasi Kuliah, Kos, dan Nongkrong untuk mulai menyadari banyak hal dalam dirinya yang mampu mengubah hidup banyak orang. Bahwa setiap mahasiswa adalah intelektual kampus yang memiliki keunikan sendiri untuk disumbangkan dalam perjuangan melawan pembodohan yang terjadi justeru di lingkungan pendidikan kita.

Dengan demikian secara khusus mahasiswa katolik yang hidup disetiap kampus dapat menghidupi semangat yang disuarakan oleh Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 dalam rangka membangun habitus baru. Rada mirip dengan seruan Yesus dalam kisah dimana Sang Guru membangkitkan anak muda di Nain (Luk.7:11-17). Maka kaum muda katolik, khususnya mahasiswa katolik, mari bersama menyadari keberadaan dan peran diri terhadap gereja dan bangsa. Bangkit dan bergeraklah.

Semoga pada akhirnya mahasiswa katolik Indonesia bersatu tidak hanya menjadi laskar pelangi, tepai juga menjadi laskar pembaharu!!


Wisma Driyarkara Semarang 14 November 2008

Wassalam!


Thomas sembirinK

Anggota PMKRI Cabang Yogyakarta St. Thomas Aquinas

Email n FS : sembirink86@yahoo.co.id

Facebook : sembirink@lycos.com

Weblog : http://sembirink.wordpress.com

Thursday, November 6, 2008

SERUAN BERSAMA PGI-KWI UNTUK PEMILU


Seruan Bersama PGI-KWI Dalam Rangka Pelaksanaan Pemilu 2009


Saudara-saudara terkasih di dalam Yesus Kristus,

1. Kita patut menaikkan syukur ke hadirat Allah dalam Yesus
Kristus, sebab atas anugerah-Nya bangsa dan negara kita dapat
mengukir karya di tengah sejarah, khususnya dalam upaya untuk
bangkit kembali serta membebaskan diri dari berbagai krisis yang
mendera sejak beberapa tahun terakhir ini. Anugerah, penyertaan dan
bimbingan Tuhan bagi perjalanan sejarah negeri ini, sebagaimana yang
terus-menerus dimohonkan melalui doa-doa syafaat kita sebagai
Gereja, adalah modal utama dan landasan yang amat kokoh bagi bangsa
dan negara kita untuk berjuang lebih gigih dalam mencapai cita-cita
proklamasi. Sejalan dengan itu Pemerintah dan seluruh komponen
bangsa harus berupaya dengan lebih setia dan bersungguh-sungguh agar
keinginan luhur bangsa sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur, sejahtera dan damai, dapat diwujudkan.

Pemilihan Umum (Pemilu), baik untuk memilih anggota-anggota
legislatif, maupun memilih Presiden dan Wakil Presiden akan
dilaksanakan pada bulan April dan Juli 2009. Persiapan-persiapan
pelaksanaannya telah dimulai sejak beberapa waktu yang lalu melalui
proses penyusunan perangkat perundang-undangan, pendaftaran dan
verifikasi partai-partai politik calon peserta Pemilu, serta
pencalonan bakal anggota-anggota legislatif dan berbagai persiapan
lainnya.

Undang-undang Pemilu kali ini mensyaratkan beberapa hal baru dan
mendasar yang sangat perlu dipahami oleh seluruh anggota masyarakat.
Untuk mengawal proses Pemilu yang penahapannya sangat panjang dan
mengandung beberapa ketentuan baru, kami mengajak seluruh umat
kristiani untuk mempelajari aturan perundang-undangan itu dengan
cermat dan cerdas agar keterlibatan dalam Pemilu sungguh-sungguh
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas dan memiliki
tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup bangsa Indonesia bahkan
mampu melahirkan pemimpin yang benar-benar memiliki wibawa karena
didukung sepenuhnya oleh rakyat.

Mengingat pentingnya peristiwa nasional ini, Majelis Pekerja Harian
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) dan Presidium
Konferensi Waligereja Indonesia (Presidium KWI) menyampaikan Seruan
Bersama bagi umat kristiani baik yang ada di Tanah Air maupun yang
berdomisili di luar negeri.

2. Kami memahami bahwa pelayanan Gereja pertama-tama adalah
sebagai tanda kasih Allah bagi umat manusia. Politik adalah salah
satu bidang pelayanan yang seharusnya juga ditujukan bagi perwujudan
kasih Allah itu.. Kasih Allah itu kian nyata dalam upaya setiap warga
mengusahakan kesejahteraan umum. Alkitab menyatakan, "Usahakanlah
kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota
itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu"
(bdk.Yeremia 29:7). Karya seperti itu dijalankan dengan mengikuti
dan meneladani Yesus Kristus, Sang Guru, Juruselamat dan Tuhan, yang
secara khusus menyatakan keber-pihakan- Nya terhadap kaum yang kecil,
lemah, miskin, dan terpinggirkan.

Dalam semangat mendasar ini Gereja mendukung pelaksanaan Pemilu yang
berkualitas, yang diharapkan akan menghasilkan wakil-wakil rakyat
dan pejabat-pejabat pemerintah yang benar-benar memiliki kehendak
baik untuk bersama seluruh rakyat Indonesia mewujudkan kesejahteraan
umum.

Atas dasar pertimbangan di atas kami menyerukan agar hal-hal berikut
diperhatikan dengan saksama:

Pertama, perlu disadari bahwa melalui peristiwa Pemilu hak-hak asasi
setiap warga negara di bidang politik diwujudkan. Oleh karena itu
setiap warga negara patut menggunakan hak pilihnya secara
bertanggungjawab dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan suara hati
nuraninya. Bagi kita, Pemilu pada hakikatnya adalah sebuah proses
kontrak politik dengan mereka yang bakal terpilih. Tercakup di
dalamnya kewajiban mereka yang terpilih untuk melayani rakyat, dan
sekaligus kesediaan untuk dikoreksi oleh rakyat. Keinginan dan cita-
cita bagi adanya perubahan serta perbaikan kehidupan bangsa dan
negara dapat ditempuh antara lain dengan memperbarui dan mengubah
susunan para penyelenggara negara. Sistem Pemilu yang baru ini
membuka peluang untuk mewujudkan cita-cita perubahan dan perbaikan
itu dengan memilih orang-orang yang paling tepat. Alkitab
menyatakan: "...pilihlah dari antara mereka orang-orang yang cakap,
setia, dan takut akan Tuhan, dipercaya dan benci pada pengejaran
suap... " (bdk. Keluaran 18:21).

Kedua, masyarakat perlu didorong untuk terus-menerus mengontrol
mekanisme demokrasi supaya aspirasi rakyat benar-benar mendapat
tempat. Sistem perwakilan yang menjadi tatacara pengambilan
keputusan ternyata sering meninggalkan aspirasi warga negara yang
diwakili.. Hal ini disebabkan karena para politisi wakil rakyat itu
dalam menjalankan tugasnya ternyata tidak mampu secara optimal
mewujudkan keinginan rakyat bahkan mengingkari janji dan komitmen
mereka. Tindakan mereka tidak dapat dipantau sepenuhnya oleh rakyat
bahkan tidak sedikit dari mereka yang ingin terpilih, beranggapan
bahwa dengan jabatan itu mereka akan memperoleh keuntungan.

Ketiga, hasil-hasil Pemilihan Umum harus benar-benar menjamin bahwa
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
tetap dipertahankan sebagai dasar negara dan acuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pemilihan Umum seharusnya memberikan jaminan bagi kelestarian Negara
Kesatuan Republik Indonesia, jaminan pelaksanaan kebebasan beragama,
terwujudnya pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.

Hasil-hasil Pemilihan Umum harus menjamin terwujudnya kehidupan
politik yang makin demokratis, pembangunan yang menyejahterakan
rakyat, adanya kepastian hukum dan rasa aman dalam kehidupan
masyarakat.

•3. Kita mengambil bagian dalam Pemilihan Umum sebagai warga
negara yang bertanggungjawab dan sekaligus sebagai warga Gereja yang
taat kepada Tuhan. Dapat saja terjadi bahwa di dalam suatu Jemaat
atau Gereja, terdapat anggota-anggota yang berdasarkan hati nurani
dan tanggungjawab masing-masing menerima pencalonan diri dan atau
menjatuhkan pilihannya kepada kekuatan-kekuatan sosial politik yang
berbeda-beda. Dalam hal demikian, maka pilihan-pilihan yang berlain-
lainan itu yang dilakukan secara jujur, tidak boleh mengganggu
persekutuan dalam Jemaat dan Gereja; sebab persekutuan dalam Jemaat
dan Gereja tidak didasarkan atas pilihan politik yang sama,
melainkan didasarkan atas ketaatan terhadap Tuhan yang satu. Dalam
upaya menjaga netralitas dan obyektivitas pelayanan gerejawi maka
pimpinan Gereja/Jemaat tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai
politik. Amanat Tuhan agar umat-Nya menjadi garam dan terang dunia,
dapat dijalankan dalam wadah kekuatan-kekuatan sosial-politik yang
berlain-lainan sesuai dengan hati nurani dan pilihan yang jujur dari
masing-masing anggota jemaat dan Gereja. Para warga Gereja yang
melayani kepentingan rakyat dan negara melalui wadah-wadah yang
berlainan harus selalu saling mengasihi dan hormat-menghormati,
sebab mereka semuanya membawa amanat yang sama, yaitu untuk "berlaku
adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan
Allah" (bdk. Mikha 6: 8).

Demikianlah Seruan Bersama kami. Kiranya Tuhan Allah, akan
senantiasa memberkati bangsa kita dalam menapaki hari-hari cerah di
masa depan. Semoga Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara
kita berkenan menyelesaikannya pula (bdk. Filipi 1:6).

JAKARTA, OKTOBER 2008

Ketua Umum, Sekretaris Umum,

ttd. ttd,

Pdt. Dr. A.A. Yewangoe,dt. Dr. Richard M. Daulay



Konferensi Waligereja Indonesia

Ketua, Sekretaris Jenderal,

ttd. ttd,

Mgr. M.D. Situmorang, OFM.Cap. Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, MSF


PLEASE READ

From: Phil Lee <phil@foei.org>
Date: 27 October 2008 11:36:01 PM
To: foeiall@lists. foei.org
Cc: communicators@ lists.foei. org, foeicoords@lists. foei.org
Subject: [foei-communicators ] Urgent action needed in Indonesia and Colombia

Dear Friends,

Your help is urgently needed by our colleagues in Indonesia and Colombia. Please read this email and take action.

On 28 May 2006 hydrogen sulfide gas leaked from a gas exploration rig in Sidoarjo, Java, Indonesia. Shortly after the leak hot mud and boiling water erupted from the ground close to the site at a rate of thousands of liters a minute. Within hours the mud was inundating nearby villages.

Two years later and whilst the flow of mud has reduced, there has been no significant progress by the government to stop it for good. Meanwhile it continues to devastate people's lives. It is estimated that 11,000 people have been made homeless and thousands more have serious health issues often related to the noxious gases that accompany the mud flow. At least one hundred deaths are directly related to the mud.

Friends of the Earth Indonesia/Walhi is calling on the President of Indonesia to hold the company responsible for this catastrophe to account and for them to pay compensation to the victims.

Find out more and take action - http://www.foei. org/en/get- involved/take-action/ stop-the- indonesian- mud-flow

At the beginning of October, thousands of Colombia's indigenous people began a popular uprising around the country to protest about the cultural and physical genocide they are suffering at the hands of the state and to defend their territory, autonomy and culture.

Police forces have repressed many of the protests with bullets and tear gas. So far three people have been killed, including a child, and more than one hundred have been injured.

Friends of the Earth Colombia/Censat Agua Viva urge you to send a letter they have produced to your respective Colombian embassy demanding that the government and others responsible take action to ensure the immediate end to the violence and to establish a dialogue with the community for future negotiations.

Find out more and take action - http://www.foei. org/en/get- involved/take-action/ indigenous- community- under-fire- in-colombia

Once you've completed the actions please call on your friends and family to do the same.

Thanks for your continued support,

Friends of the Earth International

--
Phil Lee
Website coordinator
Friends of the Earth International
PO Box 19199 |1000 GD
Amsterdam | The Netherlands
tel: +31 20 622 1369 / fax: +31 20 639 2181
e-mail: phil@foei.org
web: www.foei.org

Tuesday, October 28, 2008

PESERTA KONGRES XXVI & MPA XXV YOGYAKARTA


Perjuangan belum berakhir kawan ...
MPA memang berakhir, namun bukan itu akhir kita
MPA hanya sarana untuk kita
Sarana yang menopang KEMULIAAN tujuan kita
Semoga semua mampu melihat, menyadari, dan memperjuangkan
Cita-cita mulia perhimpunan dan roh pembaharuan gereja dan bangsa
Mari kita baharui segala sesuatu dari diri, cabang, dan PMKRI
Untuk kemudian membaharui lautan persoalan bangsa ini

" LAHIR BARU SEBAGAI PEMBAHARU "

Monday, October 20, 2008

LAHIR BARU SEMBAGAI PEMBAHARU

Hari ini ratusan Peserta, Alumni, dan Undangan dengan antusias menghadiri acara pembukaan Kongres Nasional XXVI dan Majelis Permusyawaratan Anggota XXV
PMKRI St. Thomas Aquinas.



SEBUAH DOA


Kristus Tuhan dan Teladan Gerakan

Mohon berkatMu bagi pelaksanaan

Kongres Nasional XXVI dan Majelis Permusyawaratan Anggota XXV PMKRI St. Thomas Aquinas

Semoga Engkau Sang Pembaharu mengutus Roh Kudus turun atas semua peserta,
para anggota, dan seluruh pihak yang mencintai dan telah berjuang melalui perhimpunan ini.

Semoga seperti Engkau mempersatukan umat pilihan,
memelihara dan menjaga semangat Gereja Perdana,
demikianlah jadikan perhimpunan ini SATU dan MAJU.

Semoga Engkau Sang Pembaharu memberi rahmat bagi perhimpunan yang berziarah ini

Agar mampu Lahir Baru Sebagai Pembaharu.

AMIN !!!!



Thomas sembirinK
sembirink
Sie Publikasi


Sunday, October 19, 2008

MOHON DOA


Mohon doa bagi kesuksesan acara
Kongres Nasional XXVI dan Majelis Permusyawaratan Anggota XXV PMKRI

Tema:
”Menjadi PMKRI Yang Visioner dan Misioner”
Tempat, Waktu :

Kaliurang, 21 - 26 Oktober 2008

Friday, October 17, 2008

Kongres Nasional XXVI dan Majelis Permusyawaratan Anggota XXV Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia

Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ”Sanctus Thomas Aquinas” hendak mengadakan Kongres Nasional XXVI dan Majelis Permusyawaratan Anggota XXV PMKRI yang bertema ”Menjadi PMKRI Yang Visioner dan Misioner”. Acara akan diselenggarakan di Kaliurang pada hari Selasa-Sabtu / 21 – 26 Oktober 2008.

Kegiatan ini ditujukan untuk :

Menindaklanjuti tawaran dan solusi yang telah direkomendasikan pada Forum Nasional Rembug Bersama di Bandung tentang penyelenggaraan MPA ke XXV yang konstitusional di Yogyakarta guna memecah kebuntuan dan permasalahan organisasi.
Melakukan evaluasi bersama atas transformasi organisasi, arah gerakan, kaderisasi PMKRI, kepemimpinan nasional dan kerja-kerja organisasional PMKRI baik di tingkatan cabang maupun nasional.
Saling memberikan sumbang pikir dan sumbang saran tentang apa yang sebaiknya dilakukan ke depan untuk membenahi bersama organisasi yang semakin tidak jelas dalam menghidupi, menghayati, dan mengamalkan tiga benang merah organisasi (Fraternitas – Kristianitas – Intelektualitas).
Membangun proyeksi arah dan sasaran gerakan serta mengambil kebijakan strategis taktis PMKRI ke depan yang lebih konkret secara nasional.
Melakukan regenerasi kepemimpinan nasional PMKRI yang legitimate.

Acara nasional ini hendak diawali dengan Misa Pembukaan dengan selebran utama Mgr. Agustinus Agus selaku Ketua Komisi Kerawam Konferensi Waligereja Indonesia. Disamping itu juga akan dihadiri oleh Vikjen Keuskupan Agung Semarang dan Romo Moderator PMKRI Rm. YR. Edi Purwanto, Pr.


Rencananya acara akan dibuka oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Acara ini mengundang seluruh cabang di Indonesia yang berjumlah 59 cabang beserta para pastor moderatornya. Disamping itu, diundang pula Organisasi Kepemudaan tingkat nasional yang tergabung dalam Kelompok Cipayung dan FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia).


Sebagai wadah menjalin fraternitas dan mengasah intelektualitas, Kongres Nasional ini hendak menghadirkan beberapa pembicara nasional seperti J. Kristiadi (CSIS), Jacob Oetama (Harian KOMPAS), Faby Tumiwa, Silvester Lahi (Periset), Rm. Haryatmoko, SJ (Universitas Sanata Dharma), R. Kristiawan (Tifa Foundation) dan Safik (aktivis).


Harapannya dengan kegiatan ini, PMKRI dapat lebih baik ke depan dan memberikan manfaat yang positif bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Katolik pada khususnya.

Pro Ecclesia et Patria!!

Tuesday, September 30, 2008

(Bagaimana) Membangun Pola Hubungan Desa-Kota Yang Berkeadilan?


Gbr BPS.Jumlah Desa Tertinggal Di Wilayah Perkotaan & Pedesaan Menurut Propinsi Tahun 1995

Dalam pidatonya pada acara peletakan batu pertama pembangunan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Soekarno telah menandaskan bahwa masalah pangan adalah masalah hidup matinya bangsa. Pelajaran yang dapat kita tarik dari Soekarno adalah bahwa suatu bangsa membutuhkan pangan yang disediakan melalui kegiatan pertanian.Banyak negara industri maju di Eropa, Amerika Utara ataupun Jepang tidak menelantarkan sektor pertanian yang dikembangkan di pedesaan maupun pinggiran kota (suburban).

Kebanyakan dari negara tersebut bahkan mengucurkan subsidi pertanian demikian besar. Bahkan hingga kini, Amerika Serikat mengucurkan subsidi pertanian jauh lebih besar dari quota subsidi yang sudah disepakati dalam Agreement of Agriculture (AoA) WTO. Fakta di atas setidaknya merupakan bukti konkret bahwa negara industri maju sadar sepenuhnya pada adagium: "untuk membangun industri yang kuat, diperlukanpertanian yang kuat."

Yang masih menjadi persoalan di berbagai negara-bangsa saat ini adalah

Bagaimana negara dapat menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya?

Bagaimana mengadakan kegiatan pertanian yang dapat menghasilkan kecukupan pangan?

Bagaimana kegiatan pertanian dapat menyejahterakan petani ?

Tak bisa dipungkiri bahwa kota, metropolitan, megapolitan yang menjadi pusat kegiatan bisnis di suatu negara menjadi daerah yang jauh lebih banyak mengkonsumsi produk pertanian jika dibandingkan dengan desa. Bahkan bisa dikatakan bahwa dalam masalah pangan kota hampir sepenuhnya tergantung pada desa. Walaupun di beberapa negara industri maju banyak dikembangkan makanan sintesis (mis: minuman sari buah yang sama sekali tidak mengandung buah, daging yang tidak berasal dari hewan), ini tidak melepaskan ketergantungan pangan kota terhadap desa. Apalagi setelah banyak diketahui secara medis, makanan sintesis tidak baik bagi kesehatan tubuh.

Tapi tidak sesederhana nalar pasar pada umumnya, ketergantungan konsumen kota terhadap desa, sedikit sekali membawa kesejahteraan pada desa, khususnya petani Indonesia sebagai produsen pangan. Banyak kasus yang paradoksal terjadi di pedesaan sebagai produsen pangan, misalnya : harga beras di pasar naik, tapi petani malah merugi; lahan-lahan pertanian di desa banyak dimiliki oleh orang kota yang bukan dari penduduk asli; dan sebagainya.

Banyak faktor yang harus kita cermati di sini, mulai dari level produksi sampai distribusinya. Pada tataran produksi, telah banyak pandangan yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial, antropolog atau negarawan terkemuka. Berfokus pada sejauh mana peran petani dalam produksi, setidaknya saya mencatat ada 3 mainstream.

Yang pertama, memandang bahwa petani idealnya diletakkan dalam mode produksi yang otonom. Pandangan ini secara garis besar menekankan bahwa mode produksi petani adalah berbasis pada keluarga. Bahwa masih ada unsur tradisi dan adat yang diwariskan dalam keluarga yang turut mempengaruhi cara petani dalam berproduksi. Misalnya dalam budaya petani di Jawa, saat menanam harus mematuhi kalender/ penanggalan Jawa. Pandangan ini juga menekankan perlunya kepemilikan lahan-lahan dikuasai oleh rumah tangga petani masing-masing. Pandangan ini terutama dikemukakan oleh Sahlin, yang sedikit banyak berkiblat pada ilmuwan Rusia Chayanov.

Yang kedua, memandang bahwa mode produksi petani adalah mode produksi pra kapitalisme. Dengan semakin berkembangnya revolusi industri, mode produksi petani niscaya akan terintegrasikan dalam industrialisasi. Produksi pertanian dalam skala besar dan terintegrasi dalam industri modern lebih ditekankan. Jepang adalah salah satu negara yang melaksanakan pandangan ini. Dengan menaklukkan samurai-samurai yang notabene penguasa-penguasa feodal,tuan- tuan tanah setempat untuk mengintegrasikan pertaniannya dalam industri negara. Hampir senada dengan itu, penganut pandangan Marxis menambahkan perlunya peran negara dalam distribusi secara adil kepada seluruh rakyatnya.

Yang ketiga, memandang bahwa mekanisme produksi dan distribusi pertanian diletakkan pada mekanisme pasar. Pemilikan lahan tidak dibatasi, semuanya diserahkan pada 'pasar lahan' (land market). Distribusi diserahkan pada mekanisme kompetisi, siapa yang bisa menguasai pasar dia yang memonopoli. Salah satu contohnya yang konkret adalah perusahaan Transnational Del Monte, dari Prancis, telah mampu memonopoli pasar dunia melalui produksi buah pisangnya. Hal yang cukup mencengangkan bila mengingat negara Prancis yang beriklim dingin bukanlah tempat tumbuh kembang buah pisang.

Kembali ke Indonesia... .....

Ketika melihat bahwa momen kenaikan harga beras lokal malah merugikan petani dengan hadirnya beras impor murah baik yang legal maupun ilegal, ketika melihat peran bulog, yang notabene lembaga distribusi beras negara, tidak berkutik menghadapi permainan para spekulan produk-produk pertanian, ketika melihat ratusan ribu hingga jutaan hektar lahan produktif dikuasai para pemodal besar, sementara semakin banyak buruh tani tuna tanah bermigrasi ke kota,

kita bisa menyimpulkan sendiri bagaimana penguasa negeri ini menempatkan peran petani dalam produksi pangan...... .

kita bisa menyimpulkan sendiri bagaimana penguasa negeri ini menempatkan hubungan desa dan kota....

Justice for all !


Oleh: Bambang Prakoso (Anggota PMKRI Cabang Surakarta)

felix_0912@yahoo.com

Kembali ke Desa


Tantangan gerakan sosial ke depan : Kembali ke Desa (Part I)


Sebuah Pengantar Singkat

Hugo Chavez Frias pernah mengemukakan analisa singkat, tetapi tajam. Kira-kira bunyinya begini: "Bila ingin mengentaskan kemiskinan, berilah kepada si miskin kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan modal."


Apa yang hendak disampaikan oleh Chavez sebenarnya adalah kemiskinan disebabkan oleh tersingkirnya si miskin dari akses atas kekuasaan, akses ilmu pengetahuan dan akses terhadap modal. Ungkapannya adalah sekaligus penegasan bahwa kemiskinan bukan suatu fenomena yang ada dengan sendirinya, layaknya dalam dongeng yang menceritakan tentang bahagianya kaum bangsawan sebagai keturunan para Dewa dalam kegelimangan harta, sementara rakyat jelata keturunan manusia biasa, hanya bisa hidup menghamba. Ungkapannya sekaligus juga menunjukkan ada system sosial yang timpang dan cacat.


Sebenarnya ungkapan analitik dari Chavez di atas bukanlah suatu hal yang baru. Bila di masa sekarang Chavez getol mengkritik strategi kebijakan neoliberalisme yang menggilas rakyat kecil, beberapa decade yang lalu telah ada barisan intelektual yang mengkritik strategi kebijakan developmentalisme yang mandul dalam mengentaskan kemiskinan. Apapun strateginya, entah developmentalisme ataupun neoliberalisme, pada dasarnya menjalankan bentuk strategi yang sama. Sama-sama mengimani kredo trickle down effect, yang percaya bahwa peningkatan kesejahteraan pada segelintir orang akan meneteskan bulir-bulir kesejahteraan yang akan dinikmati orang banyak.


Juga, sama-sama menjadikan kota (urban) sebagai pusat bisnis dan pembangunan, dengan demikian daerah-daerah pinggiran (sub urban) dan desa (rural) akan berkembang sesuai tumbuh dan berkembangnya kota sebagai pusat kegiatan bisnis. Sudah saatnya kita menyadarkan diri dan dunia, bahwa strategi developmentalisme ataupun neoliberalisme GAGAL TOTAL ! OMONG KOSONG !


Kita bisa memelototi data-data dan fakta-fakta kemiskinan yang jumlahnya semakin berkembang tidak terkendali dari tahun ke tahun. Telah banyak diulas bahwa sekitar 200-an perusahaan raksasa, memegang lebih dari 70 % kekayaan dunia (kita bisa bayangkan hanya tersisa 30% kekayaan dunia untuk umat manusia di dunia yang tidak termasuk kelompok 200-an perusahaan raksasa tersebut).


Di Indonesia sendiri, data BPS maupun dinas pertanian pada tahun 2004, menunjukkan lebih dari 60% orang miskin di Indoensia terdapat di pedesaan. Ini menunjukkan bahwa sistem sosial yang ada di negara kita ini turut melanggengkan kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh sekelompok kecil saja, bahkan sering dengan gaya hidup yang memuakkan. Begitupun juga, menjadikan desa-desa sebagai kantong-kantong kemiskinan yang memang sengaja diabaikan, bahkan sengaja dihisap untuk kepentingan bisnis di perkotaan, metropolitan atau megapolitan.


Sebagai solusi bagi perubahan sosial di Indonesia, ada baiknya bila kita berpaling pada desa sebagai basis perubahan. Sekaligus sebagai upaya membalikkan strategi kebijakan pembangunan, yang secara sistematis menyingkirkan desa. Mengambil dari apa yang diungkapkan Chavez, perlu kita pikirkan bagaimana membangun kedaulatan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi desa yang selama ini tersingkirkan.


Kembali ke Desa Part II

Banyak kalangan berpendapat bahwa desa adalah simbol ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan. Bahkan pembawa acara sekaliber Tukul Arwana kerap kali menjadikan olok-olok "wong ndeso" sebagai senjata andalannya. Walaupun masih ada tokoh seperti Garin Nugroho yang mengkritik keras banyolan bergaya Tukul Arwana seperti itu, toh olok-olok "wong ndeso" masih laris manis. Demikian pula stigma bahwa orang desa itu bodoh, malas, sukar untuk diajak maju, dan ketinggalan jaman masih melekat dalam benak kebanyakan orang.

Tidak hanya di kalangan umum, kalangan akademis juga bertanggung jawab dalam reproduksi stigma terhadap orang-orang desa. Adalah ilmuwan sosial penganut aliran fungsionalisme yang mempunyai kesimpulan negatif terhadap fenomena ketertinggalan masyarakat desa. Kesimpulan mereka di antaranya menyatakan bahwa keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan adalah akibat :
-sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi,
-sulitnya untuk menerima teknologi baru,
-malas,
-tidak mempunyai motivasi yang kuat.

Hampir senada dengan yang disebutkan di atas, berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat tani di Jawa, Clifford Geertz menambahkan kesimpulannya terhadap keterbelakangan masyarakat tani di pedesaan Jawa adalah karena :
- merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan pokok yang paling dasar)
- budaya shared poverty (berbagi kemiskinan bersama)

Tentunya dengan pandangan dan kesimpulan seperti itu, para ilmuwan dan kaum cendekiawan semacam Clifford Geertz, menganggap bahwa masyarakat desa, khususnya tani di pedesaan, mengalami masa involutif (tidak berkembang, menuju kepunahan). Sangat bertolak belakang dengan budaya Barat yang dominan akan need for achievement (kebutuhan akan prestasi/pencapaian)

Kita tidak bisa sepenuhnya menyangkal kesimpulan Clifford Geertz atau para ilmuwan fungsional yang lain, akan tetapi kita bisa menunjukkan titik kelemahan pada analisa mereka. Kelemahan terbesar yang melekat pada aliran fungsional adalah pengabaiannya pada: sejarah perkembangan masyarakat dan struktur sosial yang ada dari masa ke masa.

Para pengkritik aliran fungsionalisme menyebutkan bahwa mereka hanya melihat masyarakat desa dalam ruang yang hampa. Seakan-akan lepas dari interaksi, dominasi, penaklukan dari struktur sosial yang lebih luas. Saya tidak yakin ilmuwan sekaliber Clifford Geertz, tidak menguasai tentang sejarah kekuasaan kolonial Belanda di tanah air ataupun sejarah kekuasaan kaum feodal, penguasa tanah pribumi.........

Saya tidak yakin bahwa kepiawaian mereka dalam merumuskan teori, tidak membuat mereka mampu melihat struktur sosial semacam apa yang sedang bekerja, yang mengakibatkan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa.........

Malah bisa jadi mereka mengabaikannya...........
Mari kita buka kembali lembaran sejarah pedesaan di tanah air.............

Pada awal abad ke-19, Sistem Tanam Paksa diterapkan di tanah air oleh penguasa kolonial Belanda. Petani dipaksa oleh penguasa untuk menanam tanaman perdagangan (seperti kopi, kapas, tebu, dll) pada hampir 2/3 lahan mereka. Akibatnya, pada musim kering, dan produksi tanaman pangan kian menipis terjadi kelaparan yang meluas. Sejarawan Sartono Kartodirjo mencatat ribuan pribumi mati kelaparan pada bencana kekeringan ini.

Pada masa Liberalisme awal diberlakukan pemerintah Hindia Belanda di tanah air, petani yang sebagian besar hidup di pedesaan diwajibkan menyerahkan tanahnya untuk disewa perkebunan-perkebunan Belanda. Paksaan, intimidasi dan kekerasan yang dilakukan melalui para pamong praja, lurah dan penguasa feodal pribumi membuat petani tak berkutik dan terpaksa menyerahkan tanahnya dengan harga sewa yang jauh dari layak. Akibatnya banyak masyarakat tani di pedesaan terjerat hutang pada saudagar-saudagar kaya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Banyak yang terjerembab menjadi buruh tani tuna tanah, atau menjual anak-anak gadis mereka untuk membayar hutang. Fakta ini banyak dicuplik dalam beberapa novel Pramoedya.

Pada tahun 1960-an, banyak buruh tani yang ditangkap, dipenjarakan, dibui dan dikriminalisasi karena menuntut proses percepatan pembagian tanah yang adil sesuai dengan UUPA tahun 1960.

Bahkan di desa Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah, ratusan hektar tanah yang telah lebih dari 30 tahun didiami, dirampas untuk dijadikan lahan perkebunan karet yang dikelola PTPN IX. Pada masa revolusi hijau diterapkan di Indonesia, banyak petani di pedesaan terjerat hutang pada kaum tengkulak, karena diharuskan, dipaksa, seringkali dengan intimidasi, untuk membeli bibit padi unggul yang sudah disediakan pemerintah, untuk membeli pupuk kimia pendukungnya yang harganya tidak murah, dan lain-lain....

Nah, maka benarlah apa yang telah diungkapkan oleh para pengkritik kaum fungsional, bahwa yang menjadi masalah pada keterbelakangan masyarakat pedesaan tidak melulu karena kemalasan, ketidakmauan untuk beradaptasi terhadap budaya modern atau ketidak mampuan menerapkan teknologi.......

akan tetapi yang utama adalah masalah penguasaan, penaklukan, exploitation de l'homme par l'homme (penghisapan manusia terhadap sesamanya)........

Nah, mulailah untuk melangkah, membenahi sejarah pedesaan yang telah carut marut...
Minimal dengan menghilangkan olok-olok "wong ndeso" sebagai kebodohan, kemalasan...
Ingatlah, mereka hanya korban,
dan visi misi kita yang mengharuskan berjuang untuk "wong ndeso" (orang desa)..

Justice and humanity ! Now !

Change ! Now Or Never !

Oleh: Bambang Prakoso (Anggota PMKRI Cabang Surakarta)

Wednesday, September 3, 2008

SERUAN KAMPANYE DAMAI

SERUAN KAMPANYE DAMAI

AJI Damai (Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 16 partai politik peserta pemilu 2004 dan 22 partai politik baru sebagai kontestan dalam pesta demokrasi tahun 2009 mendatang. KPU juga sudah menetapkan bahwa tahap awal masa kampanye Pemilu 2009 dimulai tanggal 12 Juli 2008 sampai 5 April 2009.

Perhelatan akbar lima tahunan ini niscaya menjadi media pembelajaran politik bagi rakyat Indonesia sekaligus menentukan akan seperti apa wajah RI ke depan!Apakah akan semakin muram karena krisis multidimensi yang menghimpit, ataukah akan cerah kembali karena kebangkitan kesadaran berpolitik segenap anak bangsa berlandaskan hati nurani dan cinta-bhakti bagi Ibu Pertiwi?

Kampanye Pemilu 2009 yang diikuti 38 parpol tersebut dibagi dalam 3 zona. Pertama, meliputi wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kep. Riau dan DKI Jakarta. Kedua, meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Ketiga, meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Pada tahap awal, kampanye dilakukan secara tertutup. Salah satunya dengan cara promosi parpol di media-media. Sementara kampanye yang melibatkan massa akan dimulai Maret 2009. Nah pada tahap inilah rentan terjadi gesekan horizontal diakar rumput. Namun demikian bukan berarti tahapan kampanye tertutup tidak memungkinkan lahirnya kekerasan. Sebab, bibit-bibit kekerasan bisa jadi sudah tersemai dalam tahapan ini hingga saat kampanye terbuka bibit kekerasan itu menjadi manifes. Artinya, ibarat api dalam sekam, bibit-bibit kekerasan yang tersemai di masa kampanye tertutup akan menemukan momentum dan bisa berlindung di balik kerusuhan massal yang akhirnya sulit diidentifikasi.

Masyarakat Jogja selama ini dikenal sebagai masyarakat toleran, berbudaya dan anti kekerasan yang terbukti tidak akan terpengaruh atas berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di belahan daerah lain. Maka, sudah sepantasnya menjelang Pemilu 2009 ini, seluruh elemen masyarakat Jogja "Menolak upaya-upaya provokatif yang akan mencederai Jogja sebagai city of tolerance dan anti kekerasan".

Oleh sebab itu, kami dari AJI Damai menyerukan kepada:

1. Partai Politik

a. Melaksanakan kampanye secara santun, mendidik dan penuh tanggung jawab demi mengembalikan martabat bangsa di mata internasional, menjaga keutuhan NKRI, menunaikan amanah Mukadimah UUD 1945 serta melakoni nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila! Tidak melakukan black campaign antar calon anggota legislatif

2. Semua stakeholder (KPU, Panwaslu, Aparat kepolisian) bertindak netral, proporsional dan profesional

3. Masyarakat
a. Agar berjejaring untuk satu kata menolak segala bentuk kekerasan dalam bentuk dan dalih apapun di wilayah DIY.
b. Mempergunakan hak memilih dan dipilih secara bijaksana, dengan cara mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
c. Mengenali dengan baik dan selektif terhadap calon legislative yang diajukan oleh parpol, dengan cara tidak memilih politisi busuk (terindikasi korupsi, kolusi, nepotisme)


* Tercatat ada 33 Lembaga bergabung

Friday, August 22, 2008

Perayaan Bulan Kitab Suci Nasional 2008

Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
Cabang Yogyakarta "Sanctus Thomas Aquinas"
mengundang kawan-kawan KMK / PMK / UK / Miskam untuk hadir dan berpartisipasi pada:

PERAYAAN BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2008
"Hendaklah Terangmu Bercahaya di Depan Orang"
(Matius 5:16)

Terdapat 3 perlombaan dalam perayaan ini, yaitu:
1. Lomba Baca Kitab Suci
2. Lomba Menyanyikan Lagu Rohani
3. Kuis Kitab Suci

Pastikan kawan-kawan berpartisipasi dalam setiap lomba! Rebut piala umum (bergilir) dan sejumlah piala serta hadiah-hadiah menarik bagi partisipan KMK / PMK / UK / Miskam!!

Undangan dan poster, serta keterangan lain berkaitan dengan Perayaan Bulan Kitab Suci Nasional 2008 telah disebarkan ke seluruh KMK / PMK / UK / Miskam di wilayah DIY.

Untuk konfirmasi lebih lanjut, silahkan menghubungi Contact Person kami:
Wiwin : 085292079333
Franche: 081578630411

Kibarkan bendera KMK mu, Kobarkan semangat mu!!!!
Pro Ecclecia Et Patria!!

Thursday, August 14, 2008

WORLD YOUTH DAY 2008


Kotbah Paus Benediktus ke XVI pada Misa Penutupan World
Youth Day XXIII di Sydney, 20 July 2008. Diterjemahkan oleh P.Ignatius
Sudaryanto, CICM di Melbourne (stunas@yahoo. com).

Dengan kekuatan Roh Kudus dan dari iman yang teguh, generasi muda Katolik terpanggil untuk membangun dunia yang menerima, menghargai serta menumbuh kembangkankan anugerah kehidupan, bukan dunia yang menolak dan bahkan merusak kehidupan..
Saudara-saudara,
"Kamu akan menerima kuasa jika Roh Kudus turun atasmu" (Kis 1:8). Kita sudah menyaksikan bahwa janji Allah ini terpenuhi pada saat Pentekosta, seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama. Tuhan yang bangkit dan duduk disebelah kanan Allah Bapa mengutus Roh Kudus kepada para murid yang sedang berkumpul diruangan atas.
Dengan kuasa Roh Kudus, Petrus dan para rasul mewartakan Kabar Sukacita keujung bumi. Di segala jaman dan dalam segala bahasa Gereja diseluruh dunia terus menerus mewartakan kebesaran Allah dan memanggil bangsa-bangsa kepada iman, harapan dan kehidupan baru dalam Kristus.
Saat inipun saya, sebagai penerus Santo Petrus, datang ke tanah air
yang indah Australia ini untuk menguatkan kalian saudara-saudaraku dalam iman dan mengundang kalian untuk membuka hati kepada kuasa Roh Kudus serta menerima anugerah Roh yang tak ternilai harganya itu. Saya berdoa agar pertemuaan akbar kawula muda dari seluruh dunia ini menjadi seperti persekutuan para rasul saat Pantekota.
(Kis 2:5).
Semoga api cinta kasih Allah di turunkan atas kalian memenuhi hati kalian, menyatukan kalian sepenuhnya dengan Tuhan dan Gereja serta mengutus kalian sebagai rasul baru untuk mewartakan Kristus kepada dunia. "Kalian akan menerima kuasa Jika Roh Kudus turun atas kalian." Sabda Tuhan ini memberikan makna yang khusus bagi mereka
yang akan menerima sakramen Krisma pada misa kudus ini.
Sabda Tuhan ini juga ditujukan kepada kita semua—kepada kita semua yang sudah menerima anugerah Roh rekonsiliasi dan pembaptisan baru; yang sudah menerima Roh Kudus di dalam hidup sebagai penolong pada saat menerima sakramen Krisma, dan kita semua yang setiap hari bertumbuh dalam RahmatNya melalui Ekaristi kudus. Dalam setiap misa kudus, melalui doa-doa umat Allah, Roh Kudus turun untuk mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, untuk mengubah hidup kita menjadi satu tubuh dan satu Roh dalam Kristus.
Apakah yang dimaksud dengan kuasa Roh Kudus? Kuasa Roh Kudus adalah kuasa hidup Allah sendiri. Kuasa Roh yang sama seperti Roh yang melayang-layang dipermukaan air pada saat penciptaan, yang pada waktunya membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Kuasa yang menuntun kita dan dunia kepada kedatangan kerajaan Allah.
Dalam bacaan Injil hari ini, Jesus mewartakan bahwa dunia baru sudah datang dengan pencurahan Roh kepada umat manusia (Lk 4:21). Yesus sendiri yang dikandung oleh Roh Kudus dan dilahirkan oleh perawan Maria, datang kepada kita untuk memberikan Roh Kudus. Sebagai sumber kehidupan kita dalam Kristus; Roh Kudus nyata-nyata sebagai jiwa Gereja; Cinta yang menyatukan kita dengan Tuhan dan dengan satu sama lain; cahaya yang membuka mata kita kepada keajaiban Tuhan ditengah-tengah kita.
Di Australia ini, "great south land of the Holy Spirit", kita semua mempunyai pengalaman yg tak terlupakan akan kehadiran dan kuasa Roh Kudus melalui keindahan alam ciptaan. Mata kita terbuka untuk melihat dunia disekitar kita yang digambarkan oleh penyair sebagai dipenuhi dengan keagungan Tuhan, dipenuhi dengan kuasa dan kasih Tuhan.
Disinipun, dipertemuan kaum muda katolik dari seluruh dunia ini, kita mengalami kehadiran Roh Kudus yang nyata didalam kehidupan Gereja. Kita menyaksikan Gereja sebagai tubuh Kristus, persekutuan kasih orang beriman yang merangkul orang dari segala ras, bangsa, bahasa, dan dari berbagai tempat dalam persatuan yang lahir dari iman kepada Tuhan yang bangkit. Kuasa Roh Kudus tak henti-hentinya memberi kehidupan kepada Gereja.
Melalui Rahmat sakramen Gereja, kuasa itu juga mengalir dalam diri kita, seperti aliran air sungai yang memberi santapan kepada Roh kita dan membawa kita semakin dekat kepada sumber hidup yang sejati yaitu Kristus. Santo Ignatius dari Antiokia yang mati sebagai martir di Roma pada awal abad kedua memberi definisi yang indah tentang kehadiran kuasa Roh dalam hidup kita. Ia berbicara tentang Roh sebagai sumber air hidup dalam hati kita yang membisikkan: "datang, datanglah kepada Bapa" (bdk.Rm 6:1-9).
Kuasa Roh ini adalah Rahmat yang tidak kita peroleh karena perbuatan baik kita tetapi murni sebagai anugerah Allah. Cinta Allah bekerja jika kita membiarkannya bekerja dari dalam diri kita. Kita membiarkan kasih Allah menghancurkan kekerasan hati kita, ketidak
pedulian kita, kelemahan hidup rohani kita, kebutaan kita sehingga kita terbawa arus dunia jaman ini. Hanya dengan demikian kita memberi kesempatan kepad Roh Kudus untuk membakar semangat kita, imaginasi kita dan membentuk keinginan kita yang terdalam.
Oleh karena itu doa sangat penting bagi kita: doa harian, doa hening kita didepan sakramen Maha Kudus, doa-doa liturgy Gereja. Doa adalah murni tanggapan kita terhadap Rahmat Tuhan, Cinta yang nyata dalam perbuatan, persekutuan kita dengan Roh yang tinggal dalam diri kita, menuntun kita melalui Gereja kepada Bapa di Surga. Dalam
kuasa Roh, Yesus selalu hadir dalam hati kita, menanti kita untuk bercengkerama dalam keheningan bersamaNya, untuk mendengar suaraNya and menjadi satu dengan CintaNya and untuk menerima kuasa dari surga, memungkinkan kita menjadi garam dan cahaya dunia.
Pada saat Yesus naik kesurga, Ia bersabda: " Kamu akan menjadi saksiku…sampai akhir jaman."( Kis 1:8).. Di Australia, marilah kita bersyukur kapada Tuhan atas anugerah iman yang telah diwariskan seperti harta yang diwariskan dari generasi ke generasi di Dalam persekutuan Gereja. Di sini di Ocenia, marilah kita bersyukur secara khusus untuk kepahlawanan para Misionaris, para pastor dan religius, orangtua dan kakek-nenek, guru-guru, ketekis, yang membangun Gereja di tanah ini; yang terberkati Maria MacKillop, Santo Peter Chanel, yang terberkati Peter To Rot dan masih banyak lagi yang lain. Kuasa
Roh Kudus tampak dalam hidup mereka dan masih tetap bekerja sampai saat ini pada mereka yang ditinggalknanya, dalam masyarakat yang mereka bangun dan yang mereka wariskan kepada kalian.
Saudara kaum muda, saya ingin mengajukan pertanyaan. Apa yang akan kalian wariskan kepada generasi yang akan datang? Apakah kalian membangun fondasi yang kuat yang dapat bertahan? Apakah hidup kalian terbuka untuk Roh Kudus ditengah-tengah dunia yang melupakan Tuhan, yang menolak Tuhan dengan dalih palsu seperti kebebasan?
Bagaimana kalian menggunakan anugerah yang telah diberikan, kuasa yang akan diberikan oleh Roh Kudus?Legasi apakah yang akan kalian wariskan kepada generasi yang akan datang? Kelebihan apa yang akan kalian ciptakan? Kuasa Roh Kudus tidak hanya menerangi dan menghibur kita tetapi juga menuntun kita kepada masa depan, kepada kedatangan kerajaan Allah. Betapa besar rencana penebusan dan pembaharuan
manusia oleh kabar Sukacita pada jaman baru ini!
Santo Lukas mengatakan bahwa Yesus adalah kepenuhan janji Allah; Ia adalah Mesias yang mempunyai kepenuhan Roh Kudus yang diberikanNya kepada dunia. Janji pencurahan Roh Kudus kepada manusia itulah yang merupakan harapan dan pembebasan dari segala sesuatu yang memperbudak kita.Ia memelikkan orang buta; membebaskan tawanan,membangun persatuan dan kesatuan dalam keragaman (bdk Lk 4:18-19; Is 61:1-2). Kuasa ini mampu menciptakan dunia baru: mampu "membaharui muka bumi" (Ps 104:30).
Dengan kekuatan Roh Kudus dan dari iman yang teguh, generasi muda Katolik terpanggil untuk membangun dunia yang menerima, menghargai serta menumbuhkan anugerah kehidupan, bukan dunia yang menolak dan bahkan merusak kehidupan. Dunia baru dimana cinta bukanlah cinta yang rakus, yang mencari ketenaraan diri sendiri tetapi cinta yang murni, setia dan bebas, yang terbuka bagi sesama, menghormati harkat manusia, mencari kebaikan, memancarkan suka cita dan keindahan. Dunia baru dimana ada harapan yang membebaskan kita dari kedangkalan hidup, dari apati yang membunuh jiwa dan meracuni relasi kita.
Sahabat-sahabat muda, Tuhan meminta kalian menjadi nabi jaman ini, menjadi duta cintaNya, mengundang sesama kepada Bapa dan membangun harapan masa depan bagi semua manusia.
Dunia membutuhkan pembaharuan seperti ini! Di banyak masyarakaat, seiring dengan kemakmuran materi, terjadi kekeringan rohani: kekosongan jiwa, ketakutaan yang tidak jelas penyebabnya, keputus-asaan. Betapa banyaknya manusia jaman kita ini yang dalam Pencarian arti hidup ternyata sia-sia seperti membangun bak air yang kosong, rapuh dan retak (Yer 2:13); arti hidup yang penuh hanya ditemukan dalam mengasihi!
Inilah anugerah besar Kabar Suka cita: menyiratkan panggilan manusia, panggilan untuk menemukaan kepenuhan dalan cinta. Inilah pewahyuan kebenaran tentang manusia dan kebenaran tentang hidup.
Gereja juga memerlukan pembaharuan semacam ini! Gereja membutuhkan iman kalian, idealisme kalian,dan kemurahan hati kalian. Dengan demikian Gereja akan selalu muda dalam Roh (bdk Lumen Gentium 4). Dalam bacaan kedua hari ini, Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa kita sudah menerima anugerah untuk membangun tubuh Kristus. Gereja membutuhkan kawula muda. Gereja harus bertumbuh dengan kuasa Roh Kudus yang memberikan sukacita pada masa muda kalian, yang memberikan inspirasi untuk melayani Tuhan dengan sukacita. Bukalah hati kalian bagi kuasa Roh Kudus!
Saya menghimbau ini secara khusus kepada kalian yang terpanggil sebagai imam dan religius. Jangan takut mengatakan "YA" kepada Yesus, temukan sukacita dalam melayani kehendakNya, berikan sepenuhnya hidup kalian sepenuhnya untuk mengejar kekudusan dan menggunakan semua talenta untuk melayani sesama.
Beberapa saat lagi kita akan merayakan sakramen Krisma. Roh Kudus akan turun atas para calon. Mereka akan dimeterai dengan anugerah Roh Kudus dan selanjutnya akan diutus menjadi saksi Kristus. Apakah artinya dimeterai dengan Roh Kudus? Artinya akan diberi tanda yang tidak akan bisa terhapus atau diganti dan akan menjadi ciptaan baru.Bagi yang telah menerima anugerah ini segala sesuatu tidak akan sama lagi.
Dibaptis dalam Roh (bdk 1 Kor 12;13) artinya dibakar dengan api cinta Allah. Diberi minum dengan Roh artinya disegarkan dengan rencana Allah yang indah buat kita dan buat dunia dan selanjutnya menjadi sumber kesegaran rohani bagi sesama. Dimeterai dengan Roh Kudus artinya tidak lagi takut bersaksi tentang Kristus. Membiarkan kebenaran Injil memancar dengan cara kita melihat, berpikir dan bertindak serta dalam kita bekerja untuk mewujudkan peradaban cinta.
Pada saat kita mendoakan calon Krisma, marilah kita mohon kuasa Roh Kudus untuk membaharui sakramen Krisma kita juga. Semoga Tuhan mencurahkan anugerahNya secara berlimpah kepada kita semua yang hadir di Sydney, di Australia dan bagi semua manusia. Semoga kita semua satu persatu di perbaharui dalam Roh kebijaksanaan, pengertian, dengan Roh kebenaran dan keberanian, dengan Roh pengetahuan dan hormat, dengan Roh keheranan akan kehadiran Allah.
Melalui pengantara Maria, Ibunda Gereja, semoga Hari Kawula Muda Sedunia yang ke 23 ini menjadi pengalaman seperti yang terjadi pada hari Pentekosta dimana kita semua terbakar oleh api cinta Roh Kudus, dan kita semua pergi untuk mewartakan kebangkitan Tuhan Yesus serta membawa semua orang kepada Tuhan...Amin.

Tuesday, July 22, 2008

Relasi PMKRI dan Hierarki Gereja

Perubahan dan dinamika kemasyarakatan dalam skala yang lebih besar pasti berdampak secara signifikan terhadap relasi PMKRI dengan hierarki gereja. PMKRI sebagai ujung tombak gereja Katolik pada wilayah sosial-kemasyarakatan, dalam kurun waktu perjalanannya selalu terlibat menangani dalam persoalan kemasyarakatan kontemporer yang terjadi. Relasi yang terjadi ditentukan juga oleh kondisi internal gereja. Pertautan kondisi internal gereja dengan segala dinamikanya dengan kondisi eksternal inilah yang menentukan jenis dan model relasi yang dibangun PMKRI dengan hierarki gereja.

PMKRI lahir di Yogyakarta 25 Mei 1947 saat segenap komponen bangsa sedang mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut kembali oleh pihak sekutu. Gereja Katolik merasa penting untuk terlibat secara aktif dalam perjuangan dan karenanya dibutuhkan instrumen. Khusus untuk mahasiswa Katolik alat perjuangan yang dibentuk yaitu PMKRI (Persatuan lalu menjadi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Kelahiran PMKRI di Yogyakarta dibidani oleh hierarki gereja dan awam Katolik. Peristiwa ini menunjukkan bahwa hubungan akrab dan sinergis awam Katolik dan hirrarki sedari awal menjadi modal utama perjalanan PMKRI.

Perspektif Sejarah
Ada tiga fase periodisasi yang secara simplistis dapat digunakan untuk mencermati relasi PMKRI dan hierarki gereja serta dampak yang menyertainya. Periode pertama dari awal kelahiran sampai sebelum Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) 1965, tahap kedua dari pasca Gestapu sampai sebelum 21 Mei 1998, dan fase ketiga dari pasca 21 Mei 1998 hingga kini. Ketiga fase ini menyajikan perbedaan karakter, model, dan akibat dari relasi yang terjadi.

Fase pertama menunjukkan relasi ideal PMKRI dan hierarki gereja yang pernah terjadi. Hierarki gereja bersama awam Katolik menjadi bagian penting untuk menyiapkan anggota PMKRI menjadi garam dan terang. Karakter relasi pada periode ini cenderung sinergis-individual atau menonjolkan kemampuan pribadi-pribadi karena ditunjang dengan anggota yang masih sedikit. Model relasi yang dibangun bercorak organisatoris sekaligus personal baik secara formal atau informal. Kiprah organisasi dan kemampuan pribadi kader PMKRI tidak hanya ditentukan oleh kemampuan sang kader tetapi melibatkan peran aktif hierarki gereja.

Hierarki berperan penting untuk menyuplai aspek finansial, jaringan, spiritual, dan berdialektika dalam pemikiran. Peran hierarki dalam aspek-aspek tersebut secara substansial membantu kader PMKRI ketika itu menjadi kader paripurna. Kader PMKRI memiliki pemikiran yang memadai, keterampilan kepemimpinan yang handal, dan moral spiritual yang tangguh. Relasi fase ini menghasilkan individu-individu yang menonjol di bidang pilihannya masing-masing.

Fase kedua memiliki corak hubungan yang bervariasi. Pasca Gestapu, kelompok Katolik masuk dalam mainstream gerakan untuk menegakkan Pancasila, gerakan yang menolak paham dan gerakan politik komunis. Karakter dan model relasi yang dikembangkan masih seperti fase pertama dengan koordinasi yang lebih ketat. Ketika Orde Baru lahir, sebagian awam Katolik masuk ke struktur negara secara langsung atau tidak langsung menentukan dan mempengaruhi kebijakan negara. Realitas tersebut melahirkan implikasi baru bagi karakter, model dan akibat relasi hierarki gereja dan PMKRI. Kondisi demikian tercermin mulai paruh kedua tujuh puluhan dan berlangsung hingga tahun 1998.

Karakter relasi yang dibangun cenderung kritis-organisatoris tetapi faktanya berlangsung dalam keterputusan hubungan. Lingkungan eksternal yang berubah mempengaruhi situasi internal gereja. Hierarki dan PMKRI mulai mengambil sikap kritis satu sama lain. Hierarki mengambil jarak terhadap kaderisasi PMKRI demikian pula sebaliknya PMKRI menarik diri dari wilayah gereja. Hierarki gereja merasa PMKRI sudah bisa berjalan sendiri bahkan sulit dikendalikan dan PMKRI berpendapat peran hierarki gereja yang lalu dipandang sebagai intervensi sudah semestinya dikurangi. Model relasi yang dibangun bersifat organisatoris dan lambat laun mengurangi peran individu kader PMKRI. Pada fase tersebut tidak banyak menghasilkan kader PMKRI yang menonjol secara individu, baik yang pernah menduduki jabatan puncak di PMKRI atau pengurus atau anggota biasa.

Fase ketiga memperlihatkan pencarian format baru relasi hierarki gereja dan PMKRI. Perubahan lingkungan eksternal, demokratisasi beragam bidang kehidupan, berpengaruh positif terhadap relasi yang tengah dalam proses menjadi. Kedua pihak menyadari, relasi ideal hanya akan terjadi jika ada keterbukaan untuk menerima kekurangan masing-masing sekaligus kelebihannya. Hierarki gereja butuh PMKRI sebagai sayap kemasyarakatan gereja dan PMKRI butuh hierarki gereja sebagai kontributor spiritual dan jaringan.

Karakter dan model relasi yang dibangun masih dalam tahap penjajakan dengan kecenderungan kembali ke pola fase pertama. Kesadaran ini muncul karena konsekuensi yang harus ditanggung oleh gereja akibat relasi tidak mesra antara PMKRI dan hierarki gereja pada paruh kedua, yakni 1970-an hingga 1998 membuat respon gereja terhadap dinamika kemasyarakatan relatif melemah. Kader PMKRI tidak banyak yang menonjol dalam bidang kemasyarakatan akibat relasi negatif yang dibangun. Fase 1998 hingga saat ini relasi PMKRI dan hierarki gereja dalam proses menjadi, dengan kemungkinan kembali ke fase awal dengan modifikasi sesuai konteks jamannya.

Kontekstualisasi Relasi
Kondisi lingkungan eksternal gereja baik dalam skala nasional atau internasional penuh tantangan. Hal ini membutuhkan relasi positif yang sinergis antara PMKRI dan hierarki untuk secara bersama dapat menghadapi tantangan yang dihadapi gereja. Model relasi yang dibangun menempatkan kedua pihak sebagai subyek yang saling mempengaruhi dan membantu. Secara lebih konkret relasi yang dibangun bersifat organisatoris dan personal, sinergis, dan partisipatif.
Relasi yang dibangun mesti bersifat organisatoris sekaligus bersifat personal. PMKRI dan hierarki gereja, baik sebagai individu atau organisasi, merupakan bagian dari gereja. Secara organisasi, relasi yang dibangun memberikan “suasana” bagi kinerja kedua pihak baik dalam menjawab kebutuhan internal gereja atau dinamika kemasyarakatan. Individu hierarki gereja dan kader PMKRI merupakan subyek kunci relasi yang dibangun. Relasi keduanya dalam aspek pemikiran, spiritual, dan jaringan merupakan potensi besar untuk merespon tantangan gereja. Kader PMKRI mendapatkan “amunisi” untuk bekerja maksimal memenuhi visi-misinya.

Relasi sinergis menjadi syarat kunci untuk menghadapi perubahan jaman yang sulit ditebak arah dan orientasinya. Keterpaduan gerakan antara hierarki gereja dan PMKRI membuat keduanya, terutama PMKRI, dapat kembali menunjukkan kemampuannya dalam menjawab tantangan jaman. Transisi demokrasi Indonesia memberikan kesempatan berharga buat segenap komponen bangsa, termasuk kelompok Katolik, untuk menorehkan konstruksi kebangsaan-kenegaraan. Wilayah kerja kemasyarakatan gereja melalui sayap politiknya, PMKRI, berfungsi untuk mengisi perubahan yang diinginkan. Saling support antara keduanya membuat peran kemasyarakatan umat Katolik menjadi lebih nyata di masyararakat.

Relasi yang dibangun butuh partisipasi konkret, baik finansial atau bantuan material lain. Keterbatasan PMKRI dalam mendanai sendiri kegiatannya atau penyediaaan sarana penunjang lain, dapat dibantu melalui peran serta hierarki gereja. Bantuan hierarki gereja menyambungkan PMKRI dengan sumber-sumber keuangan sangat membantu bagi operasionalisasi program-program untuk mewujudkan keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati. Relasi PMKRI dan hierarki gereja, tidak bisa tidak, mensyaratkan keterbukaan dan kemauan keduanya untuk menerima dan memberi sesuatu yang dimiliki demi kepentingan bangsa.

****
Disadur dari buku 57 tahun PMKRI oleh E. Melkiades Laka Lena
Sekretaris Jenderal PP PMKRI periode 2002-2004

Thursday, July 17, 2008

TAN MALAKA (1897-1949) GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Tan Malaka -- lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka -- menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang -- Sumatra Barat -- Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.
Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! 
(TAN MALAKA)

disadur dari:
Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7. 
Email: brainwashed@fnmail.com.