Buruh dan Keadilan
Sosial
Oleh:
Mario Wiran
(Ketua
Presidium PMKRI Yogyakarta “Santo Thomas Aquinas”)
“Upaya untuk meningkatkan
keharmonisan dan produktivitas kerja kaum buruh tak pernah mau basi dan tak pernah
berhenti, berkobar laksana api yang menjilat-jilat”
Bernard Cracroft (Pakar masalah
perburuhan)
Berbicara
soal keadilan sosial tak terlepas dari apa yang disebut dengan kemakmuran sosial,
karena keduanya merupakan dua hal pokok yang tidak dapat dipisahkan. Hanya masyarakat makmur yang dapat disebut
sebagai masyarakat yang adil, meskipun pada kenyataannya kemakmuran itu sendiri
bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Menerima prinsip keadilan sosial
berarti menolak kolonialisme dan imperialisme. Ini berarti usaha yang tegas dan
terpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan sosial yang
menyusahkan Dunia. Ada pengakuan praktis bahwa semua orang adalah saudara dan
bahwa semua orang mempunyai tanggungjawab bersama.
Pancasila merupakan dasar Negara yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), dijadikan sebagai pedoman
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sudah selayaknya
setiap warga Negara harus tunduk, patuh, serta mengaplikasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat baik dalam aktivitas sosial, politik, budaya dan
ekonomi. Sebenarnya jika saja pemerintah benar-benar mau menjalankan
pemerintahannya dengan berpegang pada nilai-nilai Pancasila dengan konsisten
maka kesejahteraan bagi rakyat terutama kesejahteraan buruh dapat tercipta. Namun
hari ini dalam kenyataannya penerapan nilai-nilai luhur pancasila masi jauh
dari harapan luhur yang tekandung didalamnya. Dalam hal ini ternyata
kesejahteraan kehidupan kaum buruh di Indonesia masi terabaikan.
Kondisi kekinian menunjukan bahwa ketidkadilan
dan pemerkosaan hak pekerja/buruh masi saja terjadi. Terutama perilaku para
majikan terhadap pekerjanya. Dimana kaum buruh harus dihadapkan dengan sang
majikan sebagaimana pertarungan antara yang kuat dan yang lemah. Sejarah
mencatat bahwa persaingan ternyata tidak hanya soal perdebatan belaka tetapi
lebih dari itu sampai pada persaingan saling bunuh hanya untuk
memproduktivitaskan tenaga kerjanya dengan cara menhalalkan berbagai macam
cara. Dalam hal ini, kaum buruh/pekerja dipandang hanya sebagai komoditi yang
dapat diperjual belikan bahkan tenaganya dikuras habis-habisan. Sedangkan upah
minimum yang diperoleh minim sekali sehingga tak heran para buruh/pekerja masi
hidup tak berkecukupan. Hal ini mengakibatkan sehingg upaya untuk terus
menuntut keadilan hingga saat ini terus dilakukan.
Menghadapi kondisi seperti itu maka didirikan
Sarikat Pekerja di pelbagai perusahaan yang diharapkan mampu menjembatani
kepentingan kaum buruh dan majikan. Namun kenyataannya, kehadiran Sarikat
Pekerja pun tak bisa berbuat banyak, karena harus berhadapan dengan aturan yang
dibuat Manajemen, tidak terkecuali aturan dari pemerintah selaku regulator.
Parahnya justru bila regulator tidak tanggap terhadap aspirasi dan kepentingan
kaum buruh. Akibatnya kejomplangan yang lebih pro pada sang majikan atau
perusahaan semakin mencolok mata.
Undang-undang
No 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan menjadi bukti yang jelas menunjukan
bahwa pemerintah sama sekali tidak memperhatikan nasib kaum buruh. Perlu diakui
bahwa Pemerintah pasti perlu
menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk mendorong perkembangan dunia usaha
di Indonesia. Namun, sudah selayaknya pemerintah juga perlu untuk memperhatikan
dan mejamin keadilan bagi tenaga kerja. UU
N0. 13 tahun 2003 pasal 54 “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa buruh/pekerja yang dibuat secara tertulis” menjadi celah yang
menguntungkan bagi pelaku pasar di Indonesia, baik itu pengusaha domestic
maupun pengusaha asing, untuk mendapatkan tenaga kerja dengan sangat murah.
Semakin murah biaya tenaga kerja, maka semakin efisien biaya operasional dan
semakin besarlah keuntungan yang diraih. Hal
ini sangat jelas telah mengabaikan nilai-nilai luhur
dari Pancasila. Sistem kerja tersebut sangatlah tidak berkemanusian yang adil
dan beradab terhadap kaum pekerja, dan lebih mirip dengan modern slavery atau perbudakan moderen yang dilakukan pemerintah
terhadap kaum pekerja. Kaum pekerja dijual belikan tanpa memikirkan masa depannya.
Kaum buruh adalah bagian dari bangsa Indonesia.Kaum buruh pun juga
merupakan anak bangsa yang harusnya hidupnya dilindungi dan dijamin oleh
Negara. Nasib mereka sejauh ini sangat tidak beruntung, karena hidup mereka
tergantung dari upah yang pas-pasan. Apalagi untuk menghidupi keluarganya,
untuk dirinya sendiri saja jauh dari cukup. Tidak mengherankan kalau dari waktu
ke waktu terjadi unjuk rasa dikalangan para buruh. Unjuk rasa biasanya
dilatar-belakangi oleh masalah hak-hak kaum buruh yang berupa upah, cuti
hamil/haid untuk buruh perempuan, tunjangan, masalah hari libur yang diabaikan
oleh pihak pengusha. Unjuk rasa yang dilakukan terus menerus ternyata kurang
membuahkan perubahan yang baik terhadap nasib kaum buruh.
Dalam Hubungan Industri Pancasila (HIP) dikatakan bahwa buruh dan
industri merupakan mitra kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya Negara
mempunyai peran besar untuk memediasi antara kepentingan buruh dan industri.
Namun hingga saat ini konsep ini sulit diterapkan, karena Negara sendiri
mempunyai kepentingan dalam mengelola hubungan industrial. Negara Indonesia
hingga saat ini masi berparadigma develeomentalism dengan pertumbuhan ekonomi
sebagai basis utama, menekan pertumbuhan industri sehingga mampu menghasilkan
tingkat kontributif yang tinggi dari
dunia industry terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini memperjelas bahwa setiap
regulasi yang ada sama sekali tidak memihak kaum buruh. Negara harusnya lebih
memperhatikan realitas para pekerja karena sudah termaktub dalam Undang-undang
Dasar 1945 dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Terutama sila ke lima yakni
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya bahwa manusia Indonesia harusnya
menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan social dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan sikap
adil terhadap sesame, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
menghormati hak-hak orang lain.
Upaya untuk memperjuangkan keadilan social terhadap kaum buruh
membutuhkan sikap pro aktif dan sinergitas dari semua elemen masyarakat. Baik
pemerintah, mahasiswa, buruh dan media sebagai salah satu pilar demokrasi. Kita
tidak bisa duduk diam, berpangku tangan dan menyerahkan nasib kepada pemerintah
dan pengusaha tetapi dengan perjuangan, pergerakan yang massif dan continue yang akan membuat kaum buruh
terlindungi, memperoleh kepastian kerja, upah yang layak, yarat dan kondisi
kerja yang baik, hokum atau undang-undang yang pro buruh dan yang terpenting
adalah cita-cita besar untuk membuat kesejahteraan dan keadilan dapat menjadi
kenyataan. (Semoga)
Pro Ecclesia et Patria !