Perubahan dan dinamika kemasyarakatan dalam skala yang lebih besar pasti berdampak secara signifikan terhadap relasi PMKRI dengan hierarki gereja. PMKRI sebagai ujung tombak gereja Katolik pada wilayah sosial-kemasyarakatan, dalam kurun waktu perjalanannya selalu terlibat menangani dalam persoalan kemasyarakatan kontemporer yang terjadi. Relasi yang terjadi ditentukan juga oleh kondisi internal gereja. Pertautan kondisi internal gereja dengan segala dinamikanya dengan kondisi eksternal inilah yang menentukan jenis dan model relasi yang dibangun PMKRI dengan hierarki gereja.
PMKRI lahir di Yogyakarta 25 Mei 1947 saat segenap komponen bangsa sedang mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut kembali oleh pihak sekutu. Gereja Katolik merasa penting untuk terlibat secara aktif dalam perjuangan dan karenanya dibutuhkan instrumen. Khusus untuk mahasiswa Katolik alat perjuangan yang dibentuk yaitu PMKRI (Persatuan lalu menjadi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Kelahiran PMKRI di Yogyakarta dibidani oleh hierarki gereja dan awam Katolik. Peristiwa ini menunjukkan bahwa hubungan akrab dan sinergis awam Katolik dan hirrarki sedari awal menjadi modal utama perjalanan PMKRI.
Perspektif Sejarah
Ada tiga fase periodisasi yang secara simplistis dapat digunakan untuk mencermati relasi PMKRI dan hierarki gereja serta dampak yang menyertainya. Periode pertama dari awal kelahiran sampai sebelum Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) 1965, tahap kedua dari pasca Gestapu sampai sebelum 21 Mei 1998, dan fase ketiga dari pasca 21 Mei 1998 hingga kini. Ketiga fase ini menyajikan perbedaan karakter, model, dan akibat dari relasi yang terjadi.
Fase pertama menunjukkan relasi ideal PMKRI dan hierarki gereja yang pernah terjadi. Hierarki gereja bersama awam Katolik menjadi bagian penting untuk menyiapkan anggota PMKRI menjadi garam dan terang. Karakter relasi pada periode ini cenderung sinergis-individual atau menonjolkan kemampuan pribadi-pribadi karena ditunjang dengan anggota yang masih sedikit. Model relasi yang dibangun bercorak organisatoris sekaligus personal baik secara formal atau informal. Kiprah organisasi dan kemampuan pribadi kader PMKRI tidak hanya ditentukan oleh kemampuan sang kader tetapi melibatkan peran aktif hierarki gereja.
Hierarki berperan penting untuk menyuplai aspek finansial, jaringan, spiritual, dan berdialektika dalam pemikiran. Peran hierarki dalam aspek-aspek tersebut secara substansial membantu kader PMKRI ketika itu menjadi kader paripurna. Kader PMKRI memiliki pemikiran yang memadai, keterampilan kepemimpinan yang handal, dan moral spiritual yang tangguh. Relasi fase ini menghasilkan individu-individu yang menonjol di bidang pilihannya masing-masing.
Fase kedua memiliki corak hubungan yang bervariasi. Pasca Gestapu, kelompok Katolik masuk dalam mainstream gerakan untuk menegakkan Pancasila, gerakan yang menolak paham dan gerakan politik komunis. Karakter dan model relasi yang dikembangkan masih seperti fase pertama dengan koordinasi yang lebih ketat. Ketika Orde Baru lahir, sebagian awam Katolik masuk ke struktur negara secara langsung atau tidak langsung menentukan dan mempengaruhi kebijakan negara. Realitas tersebut melahirkan implikasi baru bagi karakter, model dan akibat relasi hierarki gereja dan PMKRI. Kondisi demikian tercermin mulai paruh kedua tujuh puluhan dan berlangsung hingga tahun 1998.
Karakter relasi yang dibangun cenderung kritis-organisatoris tetapi faktanya berlangsung dalam keterputusan hubungan. Lingkungan eksternal yang berubah mempengaruhi situasi internal gereja. Hierarki dan PMKRI mulai mengambil sikap kritis satu sama lain. Hierarki mengambil jarak terhadap kaderisasi PMKRI demikian pula sebaliknya PMKRI menarik diri dari wilayah gereja. Hierarki gereja merasa PMKRI sudah bisa berjalan sendiri bahkan sulit dikendalikan dan PMKRI berpendapat peran hierarki gereja yang lalu dipandang sebagai intervensi sudah semestinya dikurangi. Model relasi yang dibangun bersifat organisatoris dan lambat laun mengurangi peran individu kader PMKRI. Pada fase tersebut tidak banyak menghasilkan kader PMKRI yang menonjol secara individu, baik yang pernah menduduki jabatan puncak di PMKRI atau pengurus atau anggota biasa.
Fase ketiga memperlihatkan pencarian format baru relasi hierarki gereja dan PMKRI. Perubahan lingkungan eksternal, demokratisasi beragam bidang kehidupan, berpengaruh positif terhadap relasi yang tengah dalam proses menjadi. Kedua pihak menyadari, relasi ideal hanya akan terjadi jika ada keterbukaan untuk menerima kekurangan masing-masing sekaligus kelebihannya. Hierarki gereja butuh PMKRI sebagai sayap kemasyarakatan gereja dan PMKRI butuh hierarki gereja sebagai kontributor spiritual dan jaringan.
Karakter dan model relasi yang dibangun masih dalam tahap penjajakan dengan kecenderungan kembali ke pola fase pertama. Kesadaran ini muncul karena konsekuensi yang harus ditanggung oleh gereja akibat relasi tidak mesra antara PMKRI dan hierarki gereja pada paruh kedua, yakni 1970-an hingga 1998 membuat respon gereja terhadap dinamika kemasyarakatan relatif melemah. Kader PMKRI tidak banyak yang menonjol dalam bidang kemasyarakatan akibat relasi negatif yang dibangun. Fase 1998 hingga saat ini relasi PMKRI dan hierarki gereja dalam proses menjadi, dengan kemungkinan kembali ke fase awal dengan modifikasi sesuai konteks jamannya.
Kontekstualisasi Relasi
Kondisi lingkungan eksternal gereja baik dalam skala nasional atau internasional penuh tantangan. Hal ini membutuhkan relasi positif yang sinergis antara PMKRI dan hierarki untuk secara bersama dapat menghadapi tantangan yang dihadapi gereja. Model relasi yang dibangun menempatkan kedua pihak sebagai subyek yang saling mempengaruhi dan membantu. Secara lebih konkret relasi yang dibangun bersifat organisatoris dan personal, sinergis, dan partisipatif.
Relasi yang dibangun mesti bersifat organisatoris sekaligus bersifat personal. PMKRI dan hierarki gereja, baik sebagai individu atau organisasi, merupakan bagian dari gereja. Secara organisasi, relasi yang dibangun memberikan “suasana” bagi kinerja kedua pihak baik dalam menjawab kebutuhan internal gereja atau dinamika kemasyarakatan. Individu hierarki gereja dan kader PMKRI merupakan subyek kunci relasi yang dibangun. Relasi keduanya dalam aspek pemikiran, spiritual, dan jaringan merupakan potensi besar untuk merespon tantangan gereja. Kader PMKRI mendapatkan “amunisi” untuk bekerja maksimal memenuhi visi-misinya.
Relasi sinergis menjadi syarat kunci untuk menghadapi perubahan jaman yang sulit ditebak arah dan orientasinya. Keterpaduan gerakan antara hierarki gereja dan PMKRI membuat keduanya, terutama PMKRI, dapat kembali menunjukkan kemampuannya dalam menjawab tantangan jaman. Transisi demokrasi Indonesia memberikan kesempatan berharga buat segenap komponen bangsa, termasuk kelompok Katolik, untuk menorehkan konstruksi kebangsaan-kenegaraan. Wilayah kerja kemasyarakatan gereja melalui sayap politiknya, PMKRI, berfungsi untuk mengisi perubahan yang diinginkan. Saling support antara keduanya membuat peran kemasyarakatan umat Katolik menjadi lebih nyata di masyararakat.
Relasi yang dibangun butuh partisipasi konkret, baik finansial atau bantuan material lain. Keterbatasan PMKRI dalam mendanai sendiri kegiatannya atau penyediaaan sarana penunjang lain, dapat dibantu melalui peran serta hierarki gereja. Bantuan hierarki gereja menyambungkan PMKRI dengan sumber-sumber keuangan sangat membantu bagi operasionalisasi program-program untuk mewujudkan keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati. Relasi PMKRI dan hierarki gereja, tidak bisa tidak, mensyaratkan keterbukaan dan kemauan keduanya untuk menerima dan memberi sesuatu yang dimiliki demi kepentingan bangsa.
****
Disadur dari buku 57 tahun PMKRI oleh E. Melkiades Laka Lena
Sekretaris Jenderal PP PMKRI periode 2002-2004
Tuesday, July 22, 2008
Thursday, July 17, 2008
TAN MALAKA (1897-1949) GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS
Tan Malaka -- lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka -- menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang -- Sumatra Barat -- Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.
Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)
BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP !
(TAN MALAKA)
disadur dari:
Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7.
Email: brainwashed@fnmail.com.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.
Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)
BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP !
(TAN MALAKA)
disadur dari:
Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7.
Email: brainwashed@fnmail.com.
PERNYATAAN SIKAP : ALIANSI MAHASISWA YOGYAKARTA (AMY)
PERNYATAAN SIKAP :
ALIANSI MAHASISWA YOGYAKARTA
(AMY)
(PMKRI Cab. Yogyakarta, HMI MPO Yk, GMNI Yk, HMI Cab. Yk, GMKI Cab. DIY, PMII Yk, KAMDA KAMMI DIY, HMI Bulak Sumur, DPD IMM DIY)
REFLEKSI PERJUANGAN PENOLAKAN KENAIKAN BBM
&
SOLIDARITAS TERHADAP MAHASISWA UNAS
Keputusan yang tidak rasional mengenai Kenaikan BBM telah diambil Pemerintah SBY-JK, dan efeknya langsung terpampang di didepan mata kita. Bunyi gong perlawanan rakyat telah bergema di seantaro Nusantara Indonesia, yang mana telah membuktikan bahwa saat ini rakyat Indonesia tidak mudah untuk dibodohi.
Kebijakan kenaikan BBM semakin membuktikan bahwa Pemerintah saat ini berada dalam pengaruh jajahan Modal Asing (Kompeni), sehingga kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dirasa menjadi semakin sia-sia di tangan SBY-JK. Proses pembodohan secara kultural yang dilakukan dengan pembagian BLT dan BKM hanyalah sebuah permainan politik SBY-JK untuk merebut simpati rakyat miskin menjelang Pemilu tahun 2009. Argumentasi kuno yang selama ini dibangun oleh Pemerintah mengenai kenaikan BBM juga mendapat dukungan dengan media-media yang dimiliki oleh agen-agen pemerintah dengan iklan-iklannya yang menyesatkan dan tidak mendidik.
Perjuangan untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat ternyata berakibat meninggalnya Maftuh Fauzi dalam suatu penyerangan aparat negara di kampus UNAS. Penyesatan informasi serta pembohongan publik, mengenai kematian Maftuh Fauzi semakin menunjukkan watak diktator pemerintah SBY-JK. Sama halnya dengan kematian kawan-kawan di tahun-tahun sebelumya, setiap nafas perjuangan dan jejak langkah perjuangan dari Maftuh Fauzi menjadi semangat dan tependam dalam lubuk dada setiap mahasiswa di Indonesia.
Realitas di masyarakat dalam rangka menutupi kebobrokannya, Pemerintah menggunakan segala macam cara untuk mengalihkan isu tentang kenaikan BBM. Kematian Maftuh Fauzi yang kabarnya disebabkan AIDS merupakan salah satu bentuk pengalihan isu yang tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab. Maka sebagai bentuk refleksi dan solidaritas dalam konsistensi Gerakan Mahasiswa dalam menyuarakan kejernihan pikirannya dalam melihat realitas masyarakat Indonesia, Aliansi Mahasiswa Yogyakarta menuntut:
1.Batalkan Kebijakan Kenaikan BBM.
2.Nasionalisasi aset-aset Nasional.
3.Tolak Liberalisasi Perdagangan.
4.Hapus Hutang Luar Negeri.
5.Hentikan tindak Kekerasan terhadap Mahasiswa.
6.Usust Tuntas Kematian Maftuh Fauzi.
Yogyakarta, Sabtu, 28 Juni 2008.
ALIANSI MAHASISWA YOGYAKARTA
(AMY)
(PMKRI Cab. Yogyakarta, HMI MPO Yk, GMNI Yk, HMI Cab. Yk, GMKI Cab. DIY, PMII Yk, KAMDA KAMMI DIY, HMI Bulak Sumur, DPD IMM DIY)
REFLEKSI PERJUANGAN PENOLAKAN KENAIKAN BBM
&
SOLIDARITAS TERHADAP MAHASISWA UNAS
Keputusan yang tidak rasional mengenai Kenaikan BBM telah diambil Pemerintah SBY-JK, dan efeknya langsung terpampang di didepan mata kita. Bunyi gong perlawanan rakyat telah bergema di seantaro Nusantara Indonesia, yang mana telah membuktikan bahwa saat ini rakyat Indonesia tidak mudah untuk dibodohi.
Kebijakan kenaikan BBM semakin membuktikan bahwa Pemerintah saat ini berada dalam pengaruh jajahan Modal Asing (Kompeni), sehingga kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dirasa menjadi semakin sia-sia di tangan SBY-JK. Proses pembodohan secara kultural yang dilakukan dengan pembagian BLT dan BKM hanyalah sebuah permainan politik SBY-JK untuk merebut simpati rakyat miskin menjelang Pemilu tahun 2009. Argumentasi kuno yang selama ini dibangun oleh Pemerintah mengenai kenaikan BBM juga mendapat dukungan dengan media-media yang dimiliki oleh agen-agen pemerintah dengan iklan-iklannya yang menyesatkan dan tidak mendidik.
Perjuangan untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat ternyata berakibat meninggalnya Maftuh Fauzi dalam suatu penyerangan aparat negara di kampus UNAS. Penyesatan informasi serta pembohongan publik, mengenai kematian Maftuh Fauzi semakin menunjukkan watak diktator pemerintah SBY-JK. Sama halnya dengan kematian kawan-kawan di tahun-tahun sebelumya, setiap nafas perjuangan dan jejak langkah perjuangan dari Maftuh Fauzi menjadi semangat dan tependam dalam lubuk dada setiap mahasiswa di Indonesia.
Realitas di masyarakat dalam rangka menutupi kebobrokannya, Pemerintah menggunakan segala macam cara untuk mengalihkan isu tentang kenaikan BBM. Kematian Maftuh Fauzi yang kabarnya disebabkan AIDS merupakan salah satu bentuk pengalihan isu yang tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab. Maka sebagai bentuk refleksi dan solidaritas dalam konsistensi Gerakan Mahasiswa dalam menyuarakan kejernihan pikirannya dalam melihat realitas masyarakat Indonesia, Aliansi Mahasiswa Yogyakarta menuntut:
1.Batalkan Kebijakan Kenaikan BBM.
2.Nasionalisasi aset-aset Nasional.
3.Tolak Liberalisasi Perdagangan.
4.Hapus Hutang Luar Negeri.
5.Hentikan tindak Kekerasan terhadap Mahasiswa.
6.Usust Tuntas Kematian Maftuh Fauzi.
Yogyakarta, Sabtu, 28 Juni 2008.
Meksiko: Sejarah Perjuangan
Perjuangan rakyat Meksiko menengok kembali ke awal abad XVI ketika Tentara Spanyol menyerbu Yucatan dan Pantai Meksiko.
Henadez de Corboda dan Herman Cortes menjadi wali Spanyol yang bertanggungjawab atas ekspedisi menaklukkan bangsa Aztec yang tersebar luas dan peradaban bangsa Maya. Pada tahun 1521, dua tahun setelah pertempuran yang hebat, Tenochtitlan (yang sekarang dikenal sebagai kota Meksiko) jatuh ke tangan Cortes, dan pada tahun 1525, Francisco Montejo menaklukkan bangsa Maya. Pada tahun 1540 sebagian besar Meksiko utara di bawah kekuasaan Spanyol.
Masa penindasan mengikuti dengan penakluk Spanyol yang berusaha berdamai penduduk pribumi. Tiga ratus tahun berikutnya, Meksiko dikuasai sebagai wilayah jajahan Spanyol. Penduduk pribumi melancarkan revolusi pada tahun 1541, tetapi dipadamkan. Para penguasa Spanyol terus merampok Meksiko semua sumber daya alamnya, terutama perak, dan menciptakan perkebunan luas untuk ekspor gandum, tebu, gula, dan lain lain. Pada abad XVII ekonomi ‘Spanyol Baru’ rubuh. Penyakit dan kerja paksa mengurangi penduduk pribumi dari 12 juta pada tahun 1520 menjadi satu juta pada tahun 1720, tetapi bukan ini yang sampai awal abad XIX menjadi ancaman utama Penguasa Spanyol.
Revolusi pertama terjadi pada tahun 1810. Dipimpin Miguel Hidalgo y Costilla, seorang pastur paroki yang mengeluarkan ‘Grito de Delores’, menyerukan diakhirinya kekuasaan Spanyol, pembagian tanah, dan pemberdayaan rakyat. Costilla dan pengikutnya ditangkap dan dijatuhi hukuman. Jose Maria Moreles y Pavon memimpin pemberontakan berikutnya pada tahun 1814 yang juga dipadamkan, dan memisahkan gerakan kemerdekaan yang mengarah ke perang gerilya.
Vicente Guerrero memimpin perjuangan baru ini dan pada tahun 1821 dia merundingkan sebuah perjanjian dengan elit Penguasa Spanyol supaya dapat memperoleh hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah jajahan. Sebuah konggres dipilih, dan setelah pemberontakan militer pada tahun 1823, Meksiko menjadi republik.
Pada tahun 1845, Konggres AS memilih mengambil alih Texas dengan berperang melawan Meksiko sebagai akibatnya. Pada tahun 1848 Amerika Utara unggul atas Tentara Meksiko, dan Utah, Texas, Nevada, California, New Mexico, dan sebagian besar Colorado di bawah kendali Amerika.
Pada tahun 1857, Benito Juarez mengeluarkan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah upaya menghapuskan sisa-sisa penjajahan. Reformasi tanah tidak berarti apapun untuk meningkatkan taraf hidup sebagian besar penduduk yang tinggal dalam kemiskinan. Persoalan dipersulit, perang saudara pecah pada tahun 1858 antara kelompok liberal yang dipimpin Juarez dan kelompok konservatif. Juarez memenangkannya dan sebagian perubahan dilakukannya membantu mengurangi kekuasaan berlebihan Gereja dan tentara. Kelompok liberal yang menggantinya tidak seberhasil Juarez.
Pada tahun 1876, Porfio Diaz mengambil alih kekuasaan dan memonopoli kekuasaan politik lebih dari tiga puluh tahun berikutnya yang kemudian menjadi penyebab utama revolusi pada tahun 1910.
Revolusi tahun 1910 dipimpin Francisco i Madero, bukan seorang yang membela perubahan sosial maupun terjadinya perubahan total. Victoriano Huerta dengan dukungan kelompok konservatif, jenderal lain, menggulingkan Madero. Petani melanjutkan revolusi mulai tahun 1910 dan Pancho Vila dan Emilio Zapata menjadi dua tokoh kunci yang menggambarkan perjuangan melawan Huerta. Huerta dikalahkan dan kendali jatuh ke tangan Venustiano Carranza, seorang tuan tanah kaya yang mendukung Madero. Perang saudara pecah di dalam kelompoknya dan Vila berada di utara dan Zapata di selatan. Pemberontakan rakyat dipadamkan pada tahun 1920.
Sebuah partai baru, PNR, kemudian menggabungkan kekuatan, dan tekanan pada tahun 1930 menyebabkan sebuah pembalikan reformasi tanah dan meningkatkan kesenjangan antara yang miskin dan kaya. PNR (sekarang PRI) telah menguasai Meksiko sejak itu dengan sebuah sistem khusus satu partai.
Pada tahun 1968 sebuah pemberontakan mahasiswa besar-besaran pecah dan PRI adalah partai yang menjadi tidak lagi berbeda bagi rakyat tertindas. Pada tanggal 1 Januari 1994, EZLN, sebuah organisasi revolusioner yang tidak dikenal, mengambil alih kekuasaan di sebagian Chiapas, selatan Meksiko, yang menyebut dirinya tengah memperjuangkan perubahan yang dulu Zapata perjuangkan hingga mati. Empat puluh ribu pasukan pemerintah sekarang mengepung kelompok revolusioner, dan Pemerintah Meksiko dengan ekstrim lagi ditekan demi terjadinya perubahan. Perjuangan penduduk pribumi dan rakyat tertindas Meksiko belum pernah berhenti dan EZLN telah menangkap bayangannya dan memenangkan banyak dukungan.
Diterjemahkan dari:
Mexico: History of Struggle
Henadez de Corboda dan Herman Cortes menjadi wali Spanyol yang bertanggungjawab atas ekspedisi menaklukkan bangsa Aztec yang tersebar luas dan peradaban bangsa Maya. Pada tahun 1521, dua tahun setelah pertempuran yang hebat, Tenochtitlan (yang sekarang dikenal sebagai kota Meksiko) jatuh ke tangan Cortes, dan pada tahun 1525, Francisco Montejo menaklukkan bangsa Maya. Pada tahun 1540 sebagian besar Meksiko utara di bawah kekuasaan Spanyol.
Masa penindasan mengikuti dengan penakluk Spanyol yang berusaha berdamai penduduk pribumi. Tiga ratus tahun berikutnya, Meksiko dikuasai sebagai wilayah jajahan Spanyol. Penduduk pribumi melancarkan revolusi pada tahun 1541, tetapi dipadamkan. Para penguasa Spanyol terus merampok Meksiko semua sumber daya alamnya, terutama perak, dan menciptakan perkebunan luas untuk ekspor gandum, tebu, gula, dan lain lain. Pada abad XVII ekonomi ‘Spanyol Baru’ rubuh. Penyakit dan kerja paksa mengurangi penduduk pribumi dari 12 juta pada tahun 1520 menjadi satu juta pada tahun 1720, tetapi bukan ini yang sampai awal abad XIX menjadi ancaman utama Penguasa Spanyol.
Revolusi pertama terjadi pada tahun 1810. Dipimpin Miguel Hidalgo y Costilla, seorang pastur paroki yang mengeluarkan ‘Grito de Delores’, menyerukan diakhirinya kekuasaan Spanyol, pembagian tanah, dan pemberdayaan rakyat. Costilla dan pengikutnya ditangkap dan dijatuhi hukuman. Jose Maria Moreles y Pavon memimpin pemberontakan berikutnya pada tahun 1814 yang juga dipadamkan, dan memisahkan gerakan kemerdekaan yang mengarah ke perang gerilya.
Vicente Guerrero memimpin perjuangan baru ini dan pada tahun 1821 dia merundingkan sebuah perjanjian dengan elit Penguasa Spanyol supaya dapat memperoleh hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah jajahan. Sebuah konggres dipilih, dan setelah pemberontakan militer pada tahun 1823, Meksiko menjadi republik.
Pada tahun 1845, Konggres AS memilih mengambil alih Texas dengan berperang melawan Meksiko sebagai akibatnya. Pada tahun 1848 Amerika Utara unggul atas Tentara Meksiko, dan Utah, Texas, Nevada, California, New Mexico, dan sebagian besar Colorado di bawah kendali Amerika.
Pada tahun 1857, Benito Juarez mengeluarkan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah upaya menghapuskan sisa-sisa penjajahan. Reformasi tanah tidak berarti apapun untuk meningkatkan taraf hidup sebagian besar penduduk yang tinggal dalam kemiskinan. Persoalan dipersulit, perang saudara pecah pada tahun 1858 antara kelompok liberal yang dipimpin Juarez dan kelompok konservatif. Juarez memenangkannya dan sebagian perubahan dilakukannya membantu mengurangi kekuasaan berlebihan Gereja dan tentara. Kelompok liberal yang menggantinya tidak seberhasil Juarez.
Pada tahun 1876, Porfio Diaz mengambil alih kekuasaan dan memonopoli kekuasaan politik lebih dari tiga puluh tahun berikutnya yang kemudian menjadi penyebab utama revolusi pada tahun 1910.
Revolusi tahun 1910 dipimpin Francisco i Madero, bukan seorang yang membela perubahan sosial maupun terjadinya perubahan total. Victoriano Huerta dengan dukungan kelompok konservatif, jenderal lain, menggulingkan Madero. Petani melanjutkan revolusi mulai tahun 1910 dan Pancho Vila dan Emilio Zapata menjadi dua tokoh kunci yang menggambarkan perjuangan melawan Huerta. Huerta dikalahkan dan kendali jatuh ke tangan Venustiano Carranza, seorang tuan tanah kaya yang mendukung Madero. Perang saudara pecah di dalam kelompoknya dan Vila berada di utara dan Zapata di selatan. Pemberontakan rakyat dipadamkan pada tahun 1920.
Sebuah partai baru, PNR, kemudian menggabungkan kekuatan, dan tekanan pada tahun 1930 menyebabkan sebuah pembalikan reformasi tanah dan meningkatkan kesenjangan antara yang miskin dan kaya. PNR (sekarang PRI) telah menguasai Meksiko sejak itu dengan sebuah sistem khusus satu partai.
Pada tahun 1968 sebuah pemberontakan mahasiswa besar-besaran pecah dan PRI adalah partai yang menjadi tidak lagi berbeda bagi rakyat tertindas. Pada tanggal 1 Januari 1994, EZLN, sebuah organisasi revolusioner yang tidak dikenal, mengambil alih kekuasaan di sebagian Chiapas, selatan Meksiko, yang menyebut dirinya tengah memperjuangkan perubahan yang dulu Zapata perjuangkan hingga mati. Empat puluh ribu pasukan pemerintah sekarang mengepung kelompok revolusioner, dan Pemerintah Meksiko dengan ekstrim lagi ditekan demi terjadinya perubahan. Perjuangan penduduk pribumi dan rakyat tertindas Meksiko belum pernah berhenti dan EZLN telah menangkap bayangannya dan memenangkan banyak dukungan.
Diterjemahkan dari:
Mexico: History of Struggle
San Patricios: Orang Irlandia Pejuang Meksiko
Oleh Mark R. Day
Pada tahun 1846, ribuan imigran, sebagian besar orang Irlandia, bergabung dengan Tentara AS dan dikirim bersama dengan Tentara Jenderal Zachary Taylor untuk menyerbu Meksiko yang bagi beberapa sejarawan menyebutnya sebagai sebuah perang Perwujudan Tujuan (Manifest Destiny).
Keraguan seputar mereka yang sedang berperang melawan sebuah negeri Katolik, dan ditambah dengan perlakuan tidak semestinya dari para pegawai Anglo – Protestan, ratusan orang Irlandia dan imigran lainnya meninggalkan Tentara Taylor dan bergabung dengan Meksiko. Dipimpin Kapten John Riley dari County Galway, mereka menyebut diri mereka diri mereka batalyon Santo Patrik – dalam bahasa Spanyol disebut San Patricios.
Mereka bertempur dengan berani dengan sebagian besar konflik dua tahun yang dilancarkan, tetapi upaya mereka menahan serangan gencar Yankee gagal. Segera Tentara AS menduduki aula Montezuma, dan Meksiko dengan cepat menyerah, menyerahkan hampir setengah wilayahnya kepada Amerika Serikat.
Mendekati akhir konflik, dalam Perang Churubsco, 83 orang San Patricios ditangkap, dan 72 orang diadili secara militer. Tentang jumlah ini, 50 orang dihukum gantung dan 16 orang dicambuk dan pada pipi mereka ditandai dengan huruf “D” karena meninggalkan tugas sebagai Tentara.
Sampai dengan hari ini, banyak sejarawan AS mengenal orang-orang ini sebagai pengkhianat, tetapi orang Meksiko melihat mereka sebagai pahlawan, dan menghormati mereka setiap tanggal 12 September dengan sebuah upacara khusus. Pada tahun 1993, orang Irlandia mulai dengan upacara mereka sendiri untuk menghormati mereka di Clifden, Galway, kota kediaman Riley.
Beberapa sejarawan, bersumber pada kesaksian mahkamah militer, melukiskan San Patricios yang sedang dikacaukan dan dibingungkan sebagai pemuda peminum berat dan kemudian menyesali sendiri pilihan mereka. Analis lain ingin mengetahui yang dapat mendorong sebuah kelompok peminum berpetualang dengan mengenakan seragam musuh dan bertempur hingga titik darah penghabisan.
“San Patricios diasingkan baik dari masyarakat Amerika maupun Tentara AS,” kata Profesor Kirby Miller dari Universitas Missouri, seorang ahli tentang imigrasi orang Irlandia. “Mereka menyadari bahwa tentara tidaklah memperjuangkan perang pembebasan, tetapi sebuah penaklukan melawan penganut Katolik seperti diri mereka.”
Riley secara keras menjadi seorang pemberontak tanpa tujuan. Sebagai seorang Irlandia dan Katolik, dia tanpa ragu merasa ngeri dan dikejutkan dengan perilaku Ranger Texas dan sukarelawan Jenderal Taylor lainnya yang terus terang tidak terkendali. Di antara kejahatan mereka adalah pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan penajisan Gereja Katolik.
Ketika dipenjara di Kota Meksiko, Riley menulis kepada seorang kawannya di Michigan: “Janganlah tertipu sebuah bangsa yang sedang berperang melawan Meksiko, karena persahabatan dan kebaikan yang dibandingkan dengan orang Meksiko tidak pernah hadir di atas muka bumi.”
Sikap Riley dapat bertindak sebagai sebuah model peran dalam perbedaan budaya masyarakat. Sesungguhnya, hubungan antara imigran Irlandia pada tahun 1840 dari pendatang baru masa sekarang ini dari Meksiko dan Amerika Tengah seharusnya jelas. Menurut sejarah, kedua-duanya kelompok yang menderita karena kekuasaan penindas yang mengamat-amati untuk menghancurkan budaya dan agama mereka.
Kedua kelompok dengan berani melakukan perjalanan berbahaya supaya tiba di Amerika. Orang Irlandia melintasi samudera dengan “peti mati perahu” dengan beban penyakit dan para penumpang yang kelaparan, sementara kawan Latin mereka berlanjut untuk memberanikan diri ke padang pasir tandus dan pegunungan yang membekukan, bukan untuk menyebutkan duri-duri asal usulnya yang melihat mereka sebagai ancaman budaya dan ekonomi bagi yang disebut “kekhasan Amerika”.
Lebih dari itu, kelompok terbagi dalam nilai kelompok dan keluarga, sebuah kerohanian umum, dan kecintaan akan puisi, seni, musik dan tarian. Baru-baru ini, hal ini telah mendorong kerjasama seperti sebuah pameran seni Irlandia-Meksiko yang dibuka akhir tahun lalu di Santa Monica, California, seperti halnya rencana untuk sebuah proyek bersama lukisan dinding dengan seniman Irlandia dan Latin di San Francisco, sebuah kota dengan sebuah perhimpunan Irlandia-Meksiko yang aktif.
Mark R. Day adalah seorang wartawan dan pembuat film dokumenter. Dia pengarang Forty Acres: Cesar Chavez and the Farm Workers (Empat Puluh Are: Cesar Chavez dan Buruh Pertanian) (Praeger, 1971).
Dari The San Patricios: Mexico's Fighting Irish
Diterjemahkan dari The San Patricios: Mexico's Fighting Irish
Pada tahun 1846, ribuan imigran, sebagian besar orang Irlandia, bergabung dengan Tentara AS dan dikirim bersama dengan Tentara Jenderal Zachary Taylor untuk menyerbu Meksiko yang bagi beberapa sejarawan menyebutnya sebagai sebuah perang Perwujudan Tujuan (Manifest Destiny).
Keraguan seputar mereka yang sedang berperang melawan sebuah negeri Katolik, dan ditambah dengan perlakuan tidak semestinya dari para pegawai Anglo – Protestan, ratusan orang Irlandia dan imigran lainnya meninggalkan Tentara Taylor dan bergabung dengan Meksiko. Dipimpin Kapten John Riley dari County Galway, mereka menyebut diri mereka diri mereka batalyon Santo Patrik – dalam bahasa Spanyol disebut San Patricios.
Mereka bertempur dengan berani dengan sebagian besar konflik dua tahun yang dilancarkan, tetapi upaya mereka menahan serangan gencar Yankee gagal. Segera Tentara AS menduduki aula Montezuma, dan Meksiko dengan cepat menyerah, menyerahkan hampir setengah wilayahnya kepada Amerika Serikat.
Mendekati akhir konflik, dalam Perang Churubsco, 83 orang San Patricios ditangkap, dan 72 orang diadili secara militer. Tentang jumlah ini, 50 orang dihukum gantung dan 16 orang dicambuk dan pada pipi mereka ditandai dengan huruf “D” karena meninggalkan tugas sebagai Tentara.
Sampai dengan hari ini, banyak sejarawan AS mengenal orang-orang ini sebagai pengkhianat, tetapi orang Meksiko melihat mereka sebagai pahlawan, dan menghormati mereka setiap tanggal 12 September dengan sebuah upacara khusus. Pada tahun 1993, orang Irlandia mulai dengan upacara mereka sendiri untuk menghormati mereka di Clifden, Galway, kota kediaman Riley.
Beberapa sejarawan, bersumber pada kesaksian mahkamah militer, melukiskan San Patricios yang sedang dikacaukan dan dibingungkan sebagai pemuda peminum berat dan kemudian menyesali sendiri pilihan mereka. Analis lain ingin mengetahui yang dapat mendorong sebuah kelompok peminum berpetualang dengan mengenakan seragam musuh dan bertempur hingga titik darah penghabisan.
“San Patricios diasingkan baik dari masyarakat Amerika maupun Tentara AS,” kata Profesor Kirby Miller dari Universitas Missouri, seorang ahli tentang imigrasi orang Irlandia. “Mereka menyadari bahwa tentara tidaklah memperjuangkan perang pembebasan, tetapi sebuah penaklukan melawan penganut Katolik seperti diri mereka.”
Riley secara keras menjadi seorang pemberontak tanpa tujuan. Sebagai seorang Irlandia dan Katolik, dia tanpa ragu merasa ngeri dan dikejutkan dengan perilaku Ranger Texas dan sukarelawan Jenderal Taylor lainnya yang terus terang tidak terkendali. Di antara kejahatan mereka adalah pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan penajisan Gereja Katolik.
Ketika dipenjara di Kota Meksiko, Riley menulis kepada seorang kawannya di Michigan: “Janganlah tertipu sebuah bangsa yang sedang berperang melawan Meksiko, karena persahabatan dan kebaikan yang dibandingkan dengan orang Meksiko tidak pernah hadir di atas muka bumi.”
Sikap Riley dapat bertindak sebagai sebuah model peran dalam perbedaan budaya masyarakat. Sesungguhnya, hubungan antara imigran Irlandia pada tahun 1840 dari pendatang baru masa sekarang ini dari Meksiko dan Amerika Tengah seharusnya jelas. Menurut sejarah, kedua-duanya kelompok yang menderita karena kekuasaan penindas yang mengamat-amati untuk menghancurkan budaya dan agama mereka.
Kedua kelompok dengan berani melakukan perjalanan berbahaya supaya tiba di Amerika. Orang Irlandia melintasi samudera dengan “peti mati perahu” dengan beban penyakit dan para penumpang yang kelaparan, sementara kawan Latin mereka berlanjut untuk memberanikan diri ke padang pasir tandus dan pegunungan yang membekukan, bukan untuk menyebutkan duri-duri asal usulnya yang melihat mereka sebagai ancaman budaya dan ekonomi bagi yang disebut “kekhasan Amerika”.
Lebih dari itu, kelompok terbagi dalam nilai kelompok dan keluarga, sebuah kerohanian umum, dan kecintaan akan puisi, seni, musik dan tarian. Baru-baru ini, hal ini telah mendorong kerjasama seperti sebuah pameran seni Irlandia-Meksiko yang dibuka akhir tahun lalu di Santa Monica, California, seperti halnya rencana untuk sebuah proyek bersama lukisan dinding dengan seniman Irlandia dan Latin di San Francisco, sebuah kota dengan sebuah perhimpunan Irlandia-Meksiko yang aktif.
Mark R. Day adalah seorang wartawan dan pembuat film dokumenter. Dia pengarang Forty Acres: Cesar Chavez and the Farm Workers (Empat Puluh Are: Cesar Chavez dan Buruh Pertanian) (Praeger, 1971).
Dari The San Patricios: Mexico's Fighting Irish
Diterjemahkan dari The San Patricios: Mexico's Fighting Irish
Subscribe to:
Posts (Atom)