Sunday, March 21, 2010

BERGABUNG BERSAMA PMKRI

Masa Penerimaan Anggota Baru (MPAB)
PMKRI Cabang Yogyakarta St. Thomas Aquinas



Acara :
Tgl. 23-25 April 2010

Tempat :

Sleman, Yogyakarta


Pendaftaran :
Tgl. 18 Maret s/d 20 April 2010.



Mahasiswa-Mahasiswi Yogyakarta ...

Bila kamu punya kepedulian sosial pada mereka yang miskin dan tertindas


Punya semangat belajar dan mengembangkan potensi diri,

Berminat dalam menjalin persaudaraan dan berbagi



Contact Person :

085647403877 (Poppy)

085761334988 ( Bintang)

085727479787 (Brigita)

081392107516 (Rio Wiran)

085253384625 (Dion)


Facebook ID : PMKRI Yogyakarta


Buruan daftarkan dirimu!!!


Pro Ecclesia Et Patria!



Saturday, March 6, 2010

PENGURUS PUSAT PMKRI : QUO VADIS CENTURY?


JAKARTA, KOMPAS.com — Bagi masyarakat, pertanyaan besar masih tersisa menjelang akhir kerja Pansus Hak Angket Pengusutan Kasus Bank Century DPR. Para mahasiswa pun turut mempertanyakannya. Sejumlah nama di sekitar Presiden SBY dibidik, tetapi muara aliran dana tak kunjung jelas.
Menjadi agak aneh, waktu Bank Bali, diundang auditor eksternal dan muncul analisis mendalam.

Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Tri Adi mengungkapkan rasa penasarannya mengapa Pansus tak kunjung menelusurinya hingga akhir. Sulit memahami bahwa Pansus tak mampu menunjukkannya. Padahal, Pansus Hak Angket Kasus Bank Bali pada periode kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid mampu mengungkapnya.

"Menjadi agak aneh, waktu Bank Bali, diundang auditor eksternal dan muncul analisis mendalam. Tapi saat ini, Century sampai saat ini kita enggak tahu sampai ke sana," tuturnya dalam diskusi bertajuk "Mampukah Mahasiswa dan Masyarakat Mengawal Tuntas Skandal Century" di Universitas Paramadina, Senin (1/3/2010). Diskusi menghadirkan sejumlah aktivis mahasiswa.

Menurut Tri Adi, faktor penyebabnya menyedihkan karena para anggota Dewan justru bermain dalam realita politik tarik ulur kepentingan.

"Fraksi atau legislatif yang menjadi penyambung lidah tak tegas juga. Ketika ditawarkan apa melempem juga," katanya.

Tak hanya Pansus, ungkapnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga dinilai tak memberikan ketegasan terkait penerima akhir aliran dana talangan Bank Century.

Dengan demikian, perwakilan mahasiswa lainnya, Chozin Amrullah, menilai harapan untuk menuntaskan kasus Century baik secara politis maupun hukum tampak suram.

"Harapan kami tampaknya memang tipis, apalagi setelah KPK dibombardir. Tapi kami harus tetap teriak. Kami menyuarakan hati nurani kami," kata Chozin Amrullah.

(Sumber berita : http://nasional.kompas.com/read/2010/03/01/14501031/Mahasiswa:.Kemana.Sebenarnya.Aliran.Dana.Century)

BUNG KARNO TENTANG BERDIKARI


Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.


Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.

Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara miskin).

Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.

Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).

Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.

Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.

Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.

Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.

Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.

“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).

Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.

Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.

Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.

Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.

Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.

Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?

Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.

Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.

Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.

(Sumber : www.tokohindonesia.com)

TAN MALAKA, SANG REVOLUSIONER


Tan Malaka, lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tokoh revolusioner Republik Indonesia.

‘Ntah kenapa, setiap mengenang dan melihat foto tokoh ini dada saya serasa bergetar. Terbayang seorang anak manusia yang menjadi legenda—hampir-hampir menjadi mitos. Bertualang dari satu negeri ke negeri lainya, menjadi buronan polisi rahasia internasional. Seorang pejuang revolusioner yang kesepian….

Seperti apakah tokoh kita ini? Sehingga menjadi pelarian sepanjang hidupnya dan mengakhiri hidup dengan tragis ditembak oleh bangsanya sendiri?

Bergetar dada saya, sebab saya begitu akrab dengan tokoh ini. Walau tak berjumpa fisik, tapi karya-karyanya: Menuju Indonesia Merdeka, Gerpolek, Dari Penjara Ke Penjara, sampai Madilog meninggalkan kesan yang sangat mendalam buat saya. Bahkan kisah hidupnya dalam Dari Penjara Ke Penjara membuat saya terobsesi. Bahwa, kecintaannya terhadap tanah air begitu melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Ketika masih menjadi aktivis mahasiswa dahulu, saya bahkan berikrar tidak akan kawin sebelum reformasi selesai! Wah!

Satu lagi, karyanya Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika) membongkar cara berpikir saya menjadi lebih kritis dan ilmiah dan banyak mempengaruhi saya dalam memandang sesuatu. Tak ada tidak tidak mungkin (mustahil). Sesuatu yang dianggap mustahil hari ini akan menjadi biasa di masa mendatang. Demikian kira-kira salah satu pokok pikiran dalam Madilog.

Tan Malaka, anak Minangkabau yang terlahir 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang –Sumatra Barat. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.

Beliaulah yang pertama kali mencetuskan kata “Republik Indonesia” dan mengucapkan kata “Indonesia Merdeka 100%”, tanpa konpromi sama sekali dengan penjajah.

Tokoh ini begitu berbahayanya kah hingga banyak sekali negara-negara yang mencekalnya dan mengejar-ngejar untuk ditahan bahkan dibunuh jika sulit menangkap? Sejumlah tokoh besar seperti: Lenin, Stalin, Trotsky, Chiang Kai Sek, sampai Mao Tsu Teng menganggap tokoh ini adalah orang paling berbahaya dan terlarang! Tan Malaka dilarang memasuki Prancis, Sovyet, Baltik, Balkan, Britania, China Daratan apalagi Belanda. Tokoh ini adalah guru imajiner buat Ho Chi Minh (bapak bangsa Vietnam), Aung San (ayah dari Aung San Syu Ki) dan Joseph B. Tito (bapak bangsa Yugoslavia, yang sudah sejarah) dll.

Tan Malaka ‘belajar’ di bawah kharismatik legenda yang juga “dihilangkan” dari sejarah bangsa, R.M Tirto Adhi Soeryo. Awalnya adalah SP, SDI kemudian menjadi SI terus pecah dan salah satunya PKI. Ia ‘dibesarkan’ dalam suasana semangat gerakan modern Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tahun 1913 belajar ke Belanda, penyesalan bagi Belanda, karena merasa “membesarkan” anak harimau.

Tahun 1919 kembali ke Indonesia bekerja sebagai guru di Deli. Ketimpangan sosial di lingkungan perkebunan antara buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda. Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Pemuda cerdas ini banyak berdiskusi dengan Semaoen mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda, juga merencanakan suatu pengorganisasian bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem kader, gerakan-gerakan aksi, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang hingga mengambil tindakan tegas.

Pemikiran-pemikiran beliau menjadi inspirasi dan motivasi bagi para pejuang kemerdekaan dahulunya. Pada masa awal kemerdekaan, Bung Karno pernah menunjuk tokoh ini sebagai penggantinya–pengemban amanat pemimpin bangsa untuk meneruskan perjuangan apabila beliau tertangkap atau tidak bisa melanjutkan perjuangan.

Di masa revolusi nasional, Tan Malaka adalah sosok yang disegani. Soekarno menganggapnya sebagai guru revolusi. Hatta menyebutnya sebagai sosok yang tak mudah membungkukkan tulang punggungnya. Sebagian orang malah menyebutnya sebagai filosof Indonesia yang paling awal.

Banyak hal yang tidak terjelaskan dalam sejarah bangsa ini. Dalam buku-buku sejarah dinyatakan atau dituduh bahwa beliau adalah tokoh komunis, dan yang namanya komunis maka akan ditenggelamkan dalam sejarah dan hidup bangsa ini. Padahal juga diketahui, bahwa beliau adalah orang yang dimusuhi oleh tokoh-tokoh komunis masa lalu. Beliau melarikan diri kemana-kemana negeri, salah satu sebab juga diburu oleh orang-orang komunis.

Banyak sejarah yang mesti diungkap kebenarannya. Tulisan ini cuma sebagai pengantar kritis kita terhadap para pejuang dan pahlawan kita. Sudah saatnya kita tempatkan pejuang dalam deretan pahlawan dan para pengkhianat dalam daftar para pecundang. Referensi mendalam tentang tokoh ini bisa didapat dari internet atau buku-buku. Silahkan cari sendiri.

Saya referensikan Anda untuk membaca karya beliau: Dari Penjara Ke Penjara dan Madilog. Inilah buku wajib para pencari kesadaran baru dan ingin merubah pola pikir. Selamat membaca dan menghargai pahlawan.

(Sumber : http://hensyam.wordpress.com)

Friday, March 5, 2010

Muhammad Yunus Tentang Kemiskinan


Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, Saya yakin kita bisa menciptakan dunia yang bebas dari kemiskinan, karena kemiskinan tidak dibikin oleh rakyat miskin. Kemiskinan diciptakan dan dilestarikan oleh sistem sosial-ekonomi yang kita rancang sendiri; pranata-pranata dan konsep-konsep yang menyusun sistem itu; kebijakan-kebijakan yang kita terapkan.

Kemiskinan tercipta karena kita membangun kerangka teoretis berdasarkan asumsi-asumsi yang merendahkan kapasitas manusia, dengan merancang konsep-konsep yang terlampau sempit (seperti konsep bisnis, kelayakan kredit, kewirausahaan, lapangan kerja) atau mengembangkan lembaga-lembaga yang belum matang (Seperti lembaga-lembaga keuangan yang tidak mengikutsertakan kaum miskin). Kemiskinan disebabkan oleh kegagalan pada tataran konseptual, dan bukan kurangnya kapabilitas di pihak rakyat.

Saya percaya sepenuh hati bahwa kita bisa menciptakan dunia yang bebas-kemiskinan bila secara kolektif kita mempercayainya. Dalam dunia yang bebas-kemiskinan, tempat satu-satunya Anda bisa melihat kemiskinan adalah di museum-museum kemiskinan. Ketika anak-anak sekolah berkunjung ke museum-museum kemiskinan itu, mereka akan ngeri melihat kesengsaraan dan kehinadinaan yang harus dilalui sebagian umat manusia. Mereka akan menyalahkan leluhurnya karena mentolerir kondisi yang tidak manusiawi yang sudah berlangsung begitu lama atas begitu banyak orang ini.

Seorang manusia lahir di dunia ini dengan bekal penuh bukan hanya untuk mengurusi dirinya sendiri saja, tetapi juga turut menyumbangkan upaya untuk memperluas kesejahteraan dunia secara keseluruhan. Ada yang punya peluang untuk menggali potensi mereka sampai takaran tertentu, tapi banyak lainnya yang tak pernah mendapat kesempatan apapun seumur hidupnya untuk menguak bakat-bakat menakjubkan yang hadir bersama kelahirannya. Mereka mati tanpa pernah tergali dan dunia tak pernah merasakan kreativitas dan sumbangsih mereka.

Grameen telah memberi saya keyakinan tak tergoyahkan mengenai kreativitas manusia. Hal ini telah membuat saya meyakini bahwa manusia tidaklah terlahir untuk menderita sengsara akibat kelaparan dan kemiskinan.

Bagi saya orang miskin itu seperti pohon bonsai. Manakala Anda menanam bibit terbaik dari pohon tertinggi dalam pot kembang, Anda pun mendapat replika dan pohon tertinggi itu, namun tingginya hanya sekian inci. Tak ada yang salah dengan bibit yang Anda tanam, hanya lahannya saja yang sama sekali tidak memadai. Orang miskin itu orang bonsai. Tak ada yang salah dengan bibitnya. Sederhana saja, masyarakat tak pernah memberi mereka lahan untuk bertumbuh kembang. Yang diperlukan untuk membuat masyarakat miskin keluar dari kemiskinan adalah menciptakan lingkungan yang memberdayakan mereka. Begitu kaum miskin bisa melejitkan energi dan kreativitas mereka, kemiskinan akan lenyap dengan cepat.

Mari kita bergandeng tangan untuk memberi setiap makhluk manusia kesempatan yang adil untuk melejitkan energi dan kreativitas mereka.

Bapak dan ibu sekalian, Akan saya sudahi dengan menyatakan penghormatan saya yang mendalam kepada Komite Nobel Norwegia karena mengakui bahwa masyarakat miskin, khususnya kaum perempuan miskin, mempunyai potensi sekaligus hak untuk menjalani hidup dengan layak, dan bahwa pembiayaan mikro bisa turut melejitkan potensi itu.

Saya percaya bahwa penghargaan yang Anda berikan pada kami ini akan mengilhami lebih banyak lagi inisiatif berani di seluruh dunia untuk membuat gebrakan bersejarah dalam mengakhiri kemiskinan global. Terima kasih

(Dari berbagai Sumber)