The Greatest Love of All
Mario Wiran
(Sebuah catatan reflektif dari buku kisah-kisah di balik jubah)
Memaknai Cinta dalam Hidup BerPMKRI
Cinta hanya dapat dirasakan dan dialami dalam kehidupan ini. Upaya pelestarian atasnya pun butuh perjuangan tanpa henti. Pada saat orang berhenti mencinta, di sana nyanyian “requiem” akan membahana. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan cinta-Nya dalam hidup ini. Pilihan untuk mencintai secara khusus didedikasikan bagi mereka yang miskin dan tertindas. Hal ini jelas ditegaskan dalam visi PMKRI yaitu: “Terwujudnya keadilan social, kemanusiaan dan persaudaraan sejati”. Melalui perjuangan dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan disemangati oleh nilai-nilai kekatolikan memberi harapan besar agar tercapainya visi tersebut.
Sebagai mahasiswa katolik, terlebih seorang kader PMKRI, setiap orang mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk membawa bangsa Indonesia menghayati nilai Kekatolikan, pro rakyat miskin, damai, makmur dan sejahtera. Sebagai mahasiswa katolik kita tidak boleh duduk santai dan acuh tak acuh, bahkan melarikan diri dari permasalahan jalannya ketatanegaraan yang tidak karuwan dan yang mengakibatkan masyarakat kebanyakan mendertia baik secara fisik, psikis maupun rohani.
Memilih Untuk Hidup Selibat
Manusia adalah makhluk yang bertumbuh dan berkembang. Mulai dari lahir, bertumbuh, dewasa dan meninggal itulah siklus hidup manusia. Manusia juga berkembang secara psikologis, emosi, fisik, dan sebagainya. Dalam perkembangannya manusia harus membuat banyak pilihan itu konsekuensi logis dari suatu hidup. Diantara banyak pilihan yang ada, manusia harus memilih profesi atau pekerjaan. Manusia memiliki kehendak bebas (free Will), kebebasan yang bertanggung jawab tentunya. Setiap orang mencari makna dalam hidupnya di dalam profesi yang dijalani, namun terkadang rutinitas membuat orang juga kehilangan makna hidupnya.
Setiap profesi mengandung berbagai macam konsekuensi. Seorang sekretaris memiliki konsekuensi menjaga rahasia perusahaan. Seorang designer memiliki konsekuensi kerja lembur tanpa upah tambahan. Seorang dokter memiliki kon-sekuensi siap untuk dipanggil saat malam untuk operasi darurat atau saat pasien kritis. Seorang guru memiliki konsekuensi mendapat upah yang relatif sedikit. Demikian pula seorang biarawan juga memiliki konsekuensi. Konsekuensi yang dihadapi seorang biarawan adalah berkaitan dengan 3 kaul yaitu kaul kemurnian, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan. Sepintas jelas bahwa hal-hal tersebut membatasi biarawan untuk memaknai hidupnya seperti orang-orang pada umumnya misalnya menikah, bebas, dan menikmati kekayaan.
Seorang biarawan harus hidup terpisah dari dunia ramai. Slot atau klausura (pingitan) merupakan perwujudan konkret dari pemisahan diri dari dunia serta menjamin ketetapan hati yang terarah pada Allah. Mengutip ceritera “Ada Resah di Balik Jubah” (Kisah-kisah di balik Jubah halaman 111) dimana mengisahkan tentang pengalaman seorang Romo yang sempat mengalami keresahan. Saat itu yang menjadi persoalan bukan bagaimana biarawan bangun jam 03.15 WIB dan bukan pula pada keharusan mengikuti rutinitas harian biara, tetapi harus dihadapkan pada suatu pergumulan hidup yang sungguh sangat memberatkan. Salah satu kerinduan yang terdalam darinya adalah merasakan kasih dari kekasihnya. Suatu pergumulan yang pada akhirnya juga meresahkan sebagai sesama kaum berjubah namun pada akhirnya dengan menyadari panggilan hidup dan cinta Allah dalam hidup, Romo Matius memahami keresahan temannya Romo Lukas dan memutuskan untuk memberi support dan mendoakan romo Lukas agar tetap pada panggilan sucinya.
Ceritera yang dikisahkan dalam buku “Kisah-Kisah Di Balik Jubah” menegaskan bahwa makna hidup sesungguhnya didalam kaul kemiskinan, kaul kemurnian dan kaul ketaatan yang dihidupi oleh kaum berjubah cukup dinamis karena ada saat dimana seseorang biarawan sempat bimbang dan mengalami kebosanan sebelum akhirnya merasa bahwa Tuhan benar-benar memilihnya sebagai seorang biarawan. Hidup sebagai kaum selibat merupakan pilihan yang sungguh berarti, karena tugas seorang biarawan sungguh penting dan sangat dibutuhkan dan bermanfaat tentunya. Tidak ada kesalahan untuk memutuskan untuk hidup selibat. Melalui pelayanan dan aktifitas menggembalakan umat seorang biarawan merasa hidupnya menjadi lebih bermakna dengan melayani umat, melakukan tugas-tugas dengan baik, melayani serta menolong orang yang membutuhkan sehingga seorang biarawan tidak terfokus terhadap kehidupan seksual, harta kekayaan dan tentunya bebas melakukan ketiga kaul tersebut. Memilih untuk menjadi selibat karena mencintai umat manusia. Mencintai tentunya perlu diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Melayani dan mengasihi merupakan beberapa contoh kongkrit kehidupan seorang biarawan/ti. Semua ini dilakukan demi mewujudnyatakan cinta Allah dalam hidup ini. (Semoga)