Monday, December 1, 2008

Catatan Kecil bagi PMKRI di Penghujung MPA ke XXV - 2008

Tentang Strukturasi Anthony Giddens sebagai
Jalan Menuju Pengubahan
Catatan Kecil bagi PMKRI di Penghujung MPA ke XXV - 2008

A. Sekilas tentang Anthony Giddens

Anthony Giddens dilahirkan di Edmonton, London utara, Inggris. Ia memperoleh gelar BA dibidang sosiologi dan psikologi, namun gelar Ph.D.-nya di bidang ekonomi. Hingga saat ini ia menjadi profesor dan memberikan kuliah sosiologi dan ilmu pengetahuan politis di Cambridge dan Leicester University.

Topik utama pemikiran Giddens adalah tentang globalisasi, teori strukturasi, dan refleksitas. Refleksitas mengacu pada dugaan bahwa individu dan masyarakat digambarkan tidak hanya dengan sendirinya tetapi berhubungan satu sama lain yang secara terus menerus menggambarkan diri mereka lewat aksi reaksi dan informasi baru. Globalisasi menurut Giddens bukan sekedar perkiraan ekonomi belaka melainkan juga intensifikasi hubungan sosial seluruh dunia yang menghubungkan tempat jauh dan lokal, peristiwa yang jauh menjadi peristiwa lokal. Sedangkan strukturasi bahwa dalam rangka memahami suatu masyarakat, tidak bisa dilihat semata-mata pada tindakan individu atau sifat alami struktur yang memelihara masyarakat, keduanya harus di uji.

Karya Giddens yang terkenal adalah tentang run away world yang menjelaskan tentang bagaimana dunia kontemporer saat ini yang semakin berkembang menjadi tanpa batas. Begitu pula dengan McDonaldlisasi yang menjelaskan bahwa dunia semakin homogen, terpusat, dan tiran meskipun tampak luarnya kelihatan heterogen, prural, dan demokratis.

Dalam tulisan singkat ini, saya sengaja memilih teori strukturasi Giddens untuk menganalisa kondisi sine qua non (prasyarat mutlak) bagi PMKRI untuk melakukana pengubahan struktur di dalamnya. Tentu saja tulisan ini adalah buah pengamatan ‘orang luar’ yang dapat saja dianggap lemah ‘tradisi kanonik’-nya. Namun, tetap saja saya berharap agar PMKRI tetap dapat mengaplikasikan analisa ini dalam usahanya menjadi ‘struktur’ yang lebih ‘visioner dan misioner’.

B. Mengapa “Strukturasi” perlu diperhatikan?

Telah begitu sering kita mendengar kata ’struktur’ dalam kehidupan sehari-hari; terutama dalam diskusi di kalangan intelektual. Namun demikian, adakah kita mengerti arti struktur itu sendiri? Struktur sosial adalah praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu (misalnya: hubungan guru dan murid yang terjadi karena pelajaran yang terus menerus diampu dan diterima). Hasil praktik sosial ini kemudian membentuk sistem dan institusi sosial, serta skema dalam pikiran individu.[1]

Unsur-unsur dari sebuah struktur selalu meliputi: prinsip tindakan, perilaku pelaku, dualitas struktur.[2] PMKRI sebagai sebuah struktur juga memiliki tiga unsur yang saling berpadu ini. Jelas bahwa PMKRI memiliki prinsip bersama, entah dalam gnomik Pro Ecclesia et Patria atau dalam tiga pilar utamanya: Kristianitas, Intelektualitas dan Fraternitas.

Perilaku pelaku dalam struktur PMKRI juga dengan jelas dapat dilihat – ada anggota yang sungguh berusaha menjadi kader yang serius dan sungguh bagi Gereja dan bangsanya walau dalam tindakan kecil dan sederhana, sementara ada pula anggota yang sibuk dengan ’hal-hal besar’ demi kepentingan dan ambisi pribadi atau golongan tertentu saja.

Unsur ketiganya, dualitas struktur, diartikan oleh Giddens sebagai realitas yang tak terpisahkan antara Anda atau pribadi tertentu dengan struktur sosialnya. Struktur PMKRI tak akan mungkin ada bila Anda semua tak ada dan tidak juga mengambil bagian di dalamnya. PMKRI dapat terbentuk sebagai struktur karena ’adanya’ masing-masing anggota; walau dalam realitasnya kadang dengan enteng kita dapat menggangap anggota yang lain dapat saja tak ada karena ’modalitas’nya yang hanya kecil dan remeh saja. Padahal, bila dualitas struktur merupakan harga mati dari sebuah struktur, macam PMKRI, mestinya konsep egalitarian secara otomatis lekat dengan hidup struktur itu. Dualitas struktur – sebagiamana akan kita bahas lebih lanjut – juga mengandaikan adanya hubungan agensi (pelaku) yang tergabung dalam struktur dengan pengubahan (baca: praxis) struktur itu sendiri.

Oleh karena hubungan yang lekat antara pelaku dan struktur dalam teori dualitas struktural Giddens ini, struktur juga dapat sekaligus diartikan sebagai sarana, sejauh itu berguna. Contoh paling nyata adalah para penganggur yang stress karena ia tidak punya “struktur hidup” – sebuah hubungan sosial di mana ia dapat mengaktualisasikan dirinya. Pekerjaan memang dapat menjadi contoh dari struktur hidup kita. Ada banyak orang yang tidak mau menganggur sekalipun diberi uang banyak. Dan tahukah Anda, penelitian membuktikan bahwa pegawai kantoran lebih memilih untuk pergi bekerja ke kantor daripada mengerjakan pekerjaannya di rumah walau hasilnya beres. Orang tetap butuh pergi ke kantor sebagai strukturasi hidup; karena dengan berangkat ke kantor dan memperoleh interaksi sosial tertentu lalu ia mendapatkan makna dari pekerjaannya. PMKRI sebagai sebuah struktur juga memungkinkan adanya ’struktur-struktur hidup’ – di mana anggotanya dapat menemukan kegunaan tertentu atau bahkan pemenuhan kebutuhan tertentu. Bila kita hendak menelisik hal ini dengan piramida kebutuhan Abraham Maslow – yang telah begitu klasik namun tetap mengusik – mungkin dapatlah kita mnegerti dengan lebih baik perpecahan yang terjadi dalam tubuh PMKRI beberapa waktu yang lalu. Sebagai sebuah ’struktur’, hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis dari perbedaan kepentingan para anggotanya yang menemukan ’kegunaan’ tertentu dari PMKRI – entah sebagai sarana ’cari makan’ (pemenuhan kebutuhan biologis pada level terbawah piramida kebutuhan Maslow) atau sebagai sarana ’aktualisasi diri’ (pada level tertingginya). Sebenarnya hal ini sangat wajar dalam sebuah organisasi yang memiliki struktur yang rapi dan teratur. Kita akan membahas soal motivasi tindakan manusia dalam struktur dan bagaiamana seharusnya ’keterarahan’ itu dibangun secara lebih mendalam pada bagian akhir tulisan ini

Sebelumnya, pantaslah kita mencatat beberapa poin yang menurut Anthony Giddens berpengaruh terhadap struktur, antara lain:
1. Konstelasi sosial: posisi kita (agensi) di tengah ‘yang lain’ menentukan sejauh mana kita dapat ‘bersuara’. Pada tataran eksternal, PMKRI sebagai sebuah organisasi ‘elite’ para mahasiswa Katolik telah mempunyai posisi cukup strategis yang pun secara historis telah banyak menghasilkan buah baik. Pentinglah bagi masing-masing anggota untuk menyadari ’eksklusifitas’ (baca: kelebihan) PMKRI di tengah pergerakan nasional. Pada tataran internal, PMKRI sendiri memang harus mempertanyakan bagaimana hubungan antar anggotanya sendiri. Apakah semangat persaudaraan di antara anggota cabang masih diwarnai bayang-bayang ’daerah yang menghamba pada pusat’ atau ’anggota biasa yang tunduk pada ketua’? Ini adalah pertanyaan penting bagi PMKRI! Tanpa semangat kesetaraan, tak mungkin PMKRI dapat mencapai konstelasi sosial yang kondisif untuk bertumbuh dan berkembang.
2. Capital simbolik: pengakuan sosial (sejauh diakui oleh orang lain). Penjelasan poin ini hampir senada dengan bagian pertama. Hanya saja, capital di sini harus dibaca sebagai ’peta kekuatan’ atau ’inventarisasi kekuatan’ PMKRI yang diakui oleh entitas lain. PMKRI hanya dapat berpengaruh pada struktur ’kebangsaan’ bila ia dipandang dan diakui sebagai organisasi yang cakap dan solid. Bila terjadi perpecahan di dalamnya dan saling tuding antar anggotanya, di manakah lagi ’peta kekuatan’ itu dapat terbaca oleh masyarakat? Soal fraternitas yang menyeruak akhir-akhir ini baru satu hal saja. Sempatkah juga, misalnya, PMKRi berpikir mengenai kualitas kader-kadernya saat ini di hadapan – meminjam istilah Paus Yohanes Paulus II – perangai ’budaya kematian’ yang makin menggila? Jangan-jangan dengan tekanan pada ’kuliah untuk nanti bekerja’, para anggota PMKRI justru jadi makin anteng dan memilih area aman serta dengan perlahan membungkam suara-suara kritis terhadap isu sosial di sekitarnya. Apakah ada di antara anggota PMKRI (muda!) yang mengerti betul sejarah pemikiran ’kiri’ yang khas dengan kritik dan keberanian untuk melawan itu?
3. Budaya dominan yang berlaku. Hal ini sebenarnya pertama-tama merujuk bukan pada budaya per se, melainkan pada etika sosial. Etika sosial tidak hanya didasarkan pada premis-premis logis saja, tetapi juga pada pengakuan atau persetujuan massa. Misalnya, ketika cap “PKI” diidentikan dengan sesuatu yang sangat buruk oleh dominan masyarakat, maka tatanan nilai yang mestinya logis pun (jangan membunuh sesama, contohnya) dapat dijungkirbalikkan. Dengan keyakinan umum bahwa PKI adalah jahat, maka tak ada rasa salah bila membunuh mereka yang dicap sebagai PKI. Untuk PMKRI, saya kira soal ’etika sosial’ yang menjadi dasar bersamanya sangat jelas tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta banyak semboyan mulia lainnya. Namun soalnya adalah, apakah nilai-nilai rupawan itu menjadi ’dominan’ dalam internal PMKRI sendiri? Atau sebaiknya, kita bertanya: budaya atau etika apa yang dominan dalam tubuh PMKRI sendiri? Jangan-jangan bukan kita yang ’menggarami’ masyarakat dengan nilai-nilai Kristus, malah justru kita yang ’tergarami’ oleh nilai-nilai ’kematian’ yang dominan hidup di tengah masyarakat. Apakah anggota PMKRI ada yang sempat (atau bahkan doyan) korupsi? Apakah ada anggota PMKRI yang haus kekuasaan, pangkat dan harta? Apakah ada anggota PMKRI yang malah mebelot jadi pendukung setia partai yang melanggengkan borjuasi? Pada poin ini, pantaslah kita berefleksi: siapa yang menjadikan nilai-nilai itu dominan?

C. Praxis yang Menantang Semua
Bukan maksud saya untuk menggurui PMKRI dengan rentetan pertanyaan tadi. Saya hanya menawarkan sebuah instrumen yang dapat dipakai oleh masing-masing individu anggota untuk ’menjadi lebih visioner dan misioner’. Dua kata kunci ini, menurut hemat saya, harus dikaitkan dengan praxis agar tidak tinggal sebagai judul yang mentereng.

Praxis tidaklah sama dengan praktik. Praxis di sini dimengerti sebagai bagian dari trilogi keilmuan yang digagas oleh Plato: theoria, poecis dan praxis. Bila theoria mengandung unsur-unsur deskriptif (teori) ilmu dan poecis diartikan sebagai tindakan mencipta dan menggerakkan (rasa), maka praxis dikaitkan dengan aktivitas kreatif; aktivitas yang membentuk, mengubah, merombak sejarah dan individu. Ya! PMKRI harus menjadi wahana di mana mahasiswa Katolik dapat menciptakan sejarah tersendiri bagi Gereja dan bangsanya; bukan justru menjadi korban sejarah.

Saya melihat ada bahaya dari golongan senior yang terlalu membangga-banggakan masa jaya PMKRI di masa lalu (yang juga dibarengi dengan unsur ketokohan yang sangat kuat). Rasa bangga berlebih ini berbahaya karena dapat membuat generasi senior tak mampu secara realistis memberi masukan dan generasi yang sekarang menjadi ilusif serta inferior (baca: ”ah, kita kan gak sehebat para senior kita!”).

Menurut hemat saya, konsep praxis merupakan salah satu kata kunci bagi PMKRI untuk dapat lebih hidup. PMKRI harus mengikuti apa yang dinamakan ’lingkaran praxis’. Lingkaran Praxis dimulai dengan terbuka terhadap pengalaman, lalu diikuti metode, refleksi, serta akhirnya kembali kembali ke praxis dan begitu seterusnya. Maka, hal pertama yang dapat dibuat adalah terbuka terhadap pengalaman dan mau secara jujur menilai-menimbang pengalaman tersebut. Keterbukaan macam inilah yang dapat menjadikan PMKRI lebih realistis mengenali siapa dirinya dan sekuat apa ’giginya’ saat ini dalam mengubah struktur. Bila pun ditemukan bahwa PMKRI kini telah lemah dan menyusut kuantitas dan kualitasnya, toh hal itu diakui dengan besar hati dan tekad serta tindakan strategis untuk memperbaiki diri. Inilah yang dinamakan Giddens sebagai sebuah kesadaran diskursif atau diskursif. Kesadaran refleksif/diskursif adalah kesadaran untuk mengubah makna, melawan arus dan memungkinkan perubahan struktur sosial walaupun tak secara otomatis. Pengubahan struktur sosial membutuhkan kesadaran refleksif dari semakin banyaknya org yang sadar-refleksif; juga termasuk struktur PMKRI jika ia berniat mengubah diri. Tapi sekali lagi, niat saja tidak cukup karena dibutuhkan praxis dan tindakan konkret dari mereka yang terlibar di dalamnya. Inilah yang akan kita bahas dalam ’dualitas struktural’ sebagai jalan menuju pengubahan struktur.


D. Dualitas Struktural: Jalan menuju Pengubahan Struktur


Arti diagram di atas:
1. Semua bentuk interaksi yang berulang dan perilaku terulang akan membentuk struktur, sedangkan kualitas struktur akan sangat ditentukan oleh modalitas (capital): INTERAKSI – MODALITAS – STRUKTUR.
2. Dalam masyarakat kita ada tiga dimensi yang akan selalu ada dalam interaksi/hubungan antar manusia:
- komunikasi
- kekuasaan
- sanksi
3. Kualitas komunikasi menghasilkan pemaknaan yang ditentukan kualitasnya oleh kerangka penafsiran. Misalnya: saya menjadi curiga dan bertindak preventif terhadap Andi karena Budi memberitahu saya bahwa Andi sebenarnya adalah seorang pencuri. Maka dalam perjumpaan itu, kerangka penafsiran saya akan berubah dan memperburuk suasana/hubungan.
4. Bila dasar interaksi adalah kekuasaan (kekuasaan fisik, kekuasaan ekonomi, budaya dominan, capital sosial/pengakuan publik), maka ia kemudian akan menentukan struktur dominasi. Dominasi menyangkut capital fisik (siapa yang punya otot lebih kuat dan tenaga lebih besar), capital ekonomi (siapa yang punya uang lebih banyak), capital budaya (siapa yang intelektualitasnya lebih yahud), capital sosial (siap yang memiliki jaringan sosial lebih luas). Capital-capital tersebut akan menghasilkan dominasi yang membuat akses ke fasilitas menjadi lebih besar.
5. Dan akhirnya, bila interaksi sosial dibangun atas dasar moralitas, maka para pelakunya akan menentukan struktur legitimasi. Contoh paling mudah adalah struktur Gereja sebagai penerus hukum moral akan selalu dianggap memiliki kuasa dalam menentukan apakah Lisa salah bila melakukan abortus.

Lalu bagaimana jalan pengubahan struktur yang ditawarkan dari diagaram di atas?

Kita semua melihat betapa sentral dan pentingnya peran interaksi dan modalitas dalam menentukan struktur. Supaya terjadi perubahan harus ada dualisme (jarak antara pelaku dan struktur). Dualisme berbeda dengan dualitas, di mana pelaku dan struktur tidak terpisah. Ketika pelaku mampu mengambil jarak terhadap struktur maka obyetifikasi akan lebih mudah terangsang dan kejujuran dengan lebih baik diperoleh. Gampangnya, anggota PMKRI harus menempatkan diri sebagai ’orang luar’ dalam menilai struktur PMKRI dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Pengambilan jarak ini dibutuhkan agar kita tidak terbius oleh ideologi sendiri dan menilai secara lebih obyektif; bila perlu bandingkan dengan organisasi mahasiswa lain yang lebih berkembang.

Hal ini akan membantu kita menjadi lebih realitis dalam menentukan arah dan gerak kita sebagai PMKRI. Bila Anda ingin PMKRI berubah menjadi lebih baik, tidaklah cukup kehendak dan niat baik saja. Anda memerlukan sebuah inventarisasi modalitas dalam masing-masing interaksi baik secara individual maupun komunal. Misal, dalam interaksi ’komunikasi’, kira-kira modalitas apa yang dapat ditawarkan oleh PMKRI untuk mengubah citra umum yang negatif setelah terjadinya perpecahan belakangan ini? Dalam interaksi kekuasaan, kira-kira PMKRI paling kuat di bidang apa? Ekonomikah? Intelektualitas-kah? Ideologi-kah? Silahkan temukan sesuai dengan lokalitas masing-masing anggota.

Inventarisasi ini penting dan oleh karenanya saya memberikan contoh secara gamblang tabel berikut sebagai bahan analisa cabang:



Kesimpulan pada bagian ini sebenarnya cukup sederhana: perlulah dipertimbangkan dan diperjelas modalitas apa yang telah kita miliki sebelum mengusulkan suatu gerakan pengubahan agar kita menjadi lebih realistis dalam menentukan langkah berikutnya. Yang penting juga untuk diingat adalah bahwa pola komuniaksi tadi selalu berkait erat satu sama lain. Maka, silahkan juga memperhatikan apakah program praxis PMKRI menjadi lebih baik itu juga memperhatikan tiga wilayah tersebut secara penuh; terutama di interaksi kekuasaan.

Jangan bangga bila Anda sampai pada kerangka penafsiran saja, karena hal ini baru pada awal tindakan mengubah. Reformasi 1998 dapat dikatakan kurang berhasil karena modalitas masih dimiliki regime lama dan norma yang ada masih mendukung regime lama. Setelah Soeharto lengser, mekanisme parlemen tidak berubah dan Golkar tetap berjaya di daerah dan di kalangan PNS, para pejabat pemerintahan sebagian besar juga masih berkiblat ke Cendana. Jadi, lengsernya Soeharto dalam reformasi 1998 dapat dikatakan baru sebagai usaha mengubah kerangka penafsiran sementara modalitas tetap ada di tangan antek-anteknya.

E. Beranikah PMKRI menjadi Visioner dan Misioner?
Akhir kata, semoga analisa filosofis yang juga ternyata sangat pragmatis ini membantu teman-teman sekalian untuk berani mulia merombak wajah PMKRI menjadi lebih baik. Menjadi visioner dan misioner memang tak semudah yang yang dislogankan oleh tema, tetapi kita toh tetap boleh berharap pada Dia yang telah memulai karya baik di tengah kita dan yang akan pula menyelesaikannya dengan sorak-sarai banyak orang.


In Corde Jesu,
Fra. Albertus Joni, SCJ





[1] Perlu digarisbawahi bahwa struktur sosial tidak sama dengan stratifikasi sosial.
[2] Dualitas pada poin ini diartikan oleh Giddens sebagai realitas yang tak terpisahkan antara Anda atau pribadi tertentu dengan struktur sosialnya.