Tuesday, September 30, 2008

(Bagaimana) Membangun Pola Hubungan Desa-Kota Yang Berkeadilan?


Gbr BPS.Jumlah Desa Tertinggal Di Wilayah Perkotaan & Pedesaan Menurut Propinsi Tahun 1995

Dalam pidatonya pada acara peletakan batu pertama pembangunan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Soekarno telah menandaskan bahwa masalah pangan adalah masalah hidup matinya bangsa. Pelajaran yang dapat kita tarik dari Soekarno adalah bahwa suatu bangsa membutuhkan pangan yang disediakan melalui kegiatan pertanian.Banyak negara industri maju di Eropa, Amerika Utara ataupun Jepang tidak menelantarkan sektor pertanian yang dikembangkan di pedesaan maupun pinggiran kota (suburban).

Kebanyakan dari negara tersebut bahkan mengucurkan subsidi pertanian demikian besar. Bahkan hingga kini, Amerika Serikat mengucurkan subsidi pertanian jauh lebih besar dari quota subsidi yang sudah disepakati dalam Agreement of Agriculture (AoA) WTO. Fakta di atas setidaknya merupakan bukti konkret bahwa negara industri maju sadar sepenuhnya pada adagium: "untuk membangun industri yang kuat, diperlukanpertanian yang kuat."

Yang masih menjadi persoalan di berbagai negara-bangsa saat ini adalah

Bagaimana negara dapat menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya?

Bagaimana mengadakan kegiatan pertanian yang dapat menghasilkan kecukupan pangan?

Bagaimana kegiatan pertanian dapat menyejahterakan petani ?

Tak bisa dipungkiri bahwa kota, metropolitan, megapolitan yang menjadi pusat kegiatan bisnis di suatu negara menjadi daerah yang jauh lebih banyak mengkonsumsi produk pertanian jika dibandingkan dengan desa. Bahkan bisa dikatakan bahwa dalam masalah pangan kota hampir sepenuhnya tergantung pada desa. Walaupun di beberapa negara industri maju banyak dikembangkan makanan sintesis (mis: minuman sari buah yang sama sekali tidak mengandung buah, daging yang tidak berasal dari hewan), ini tidak melepaskan ketergantungan pangan kota terhadap desa. Apalagi setelah banyak diketahui secara medis, makanan sintesis tidak baik bagi kesehatan tubuh.

Tapi tidak sesederhana nalar pasar pada umumnya, ketergantungan konsumen kota terhadap desa, sedikit sekali membawa kesejahteraan pada desa, khususnya petani Indonesia sebagai produsen pangan. Banyak kasus yang paradoksal terjadi di pedesaan sebagai produsen pangan, misalnya : harga beras di pasar naik, tapi petani malah merugi; lahan-lahan pertanian di desa banyak dimiliki oleh orang kota yang bukan dari penduduk asli; dan sebagainya.

Banyak faktor yang harus kita cermati di sini, mulai dari level produksi sampai distribusinya. Pada tataran produksi, telah banyak pandangan yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial, antropolog atau negarawan terkemuka. Berfokus pada sejauh mana peran petani dalam produksi, setidaknya saya mencatat ada 3 mainstream.

Yang pertama, memandang bahwa petani idealnya diletakkan dalam mode produksi yang otonom. Pandangan ini secara garis besar menekankan bahwa mode produksi petani adalah berbasis pada keluarga. Bahwa masih ada unsur tradisi dan adat yang diwariskan dalam keluarga yang turut mempengaruhi cara petani dalam berproduksi. Misalnya dalam budaya petani di Jawa, saat menanam harus mematuhi kalender/ penanggalan Jawa. Pandangan ini juga menekankan perlunya kepemilikan lahan-lahan dikuasai oleh rumah tangga petani masing-masing. Pandangan ini terutama dikemukakan oleh Sahlin, yang sedikit banyak berkiblat pada ilmuwan Rusia Chayanov.

Yang kedua, memandang bahwa mode produksi petani adalah mode produksi pra kapitalisme. Dengan semakin berkembangnya revolusi industri, mode produksi petani niscaya akan terintegrasikan dalam industrialisasi. Produksi pertanian dalam skala besar dan terintegrasi dalam industri modern lebih ditekankan. Jepang adalah salah satu negara yang melaksanakan pandangan ini. Dengan menaklukkan samurai-samurai yang notabene penguasa-penguasa feodal,tuan- tuan tanah setempat untuk mengintegrasikan pertaniannya dalam industri negara. Hampir senada dengan itu, penganut pandangan Marxis menambahkan perlunya peran negara dalam distribusi secara adil kepada seluruh rakyatnya.

Yang ketiga, memandang bahwa mekanisme produksi dan distribusi pertanian diletakkan pada mekanisme pasar. Pemilikan lahan tidak dibatasi, semuanya diserahkan pada 'pasar lahan' (land market). Distribusi diserahkan pada mekanisme kompetisi, siapa yang bisa menguasai pasar dia yang memonopoli. Salah satu contohnya yang konkret adalah perusahaan Transnational Del Monte, dari Prancis, telah mampu memonopoli pasar dunia melalui produksi buah pisangnya. Hal yang cukup mencengangkan bila mengingat negara Prancis yang beriklim dingin bukanlah tempat tumbuh kembang buah pisang.

Kembali ke Indonesia... .....

Ketika melihat bahwa momen kenaikan harga beras lokal malah merugikan petani dengan hadirnya beras impor murah baik yang legal maupun ilegal, ketika melihat peran bulog, yang notabene lembaga distribusi beras negara, tidak berkutik menghadapi permainan para spekulan produk-produk pertanian, ketika melihat ratusan ribu hingga jutaan hektar lahan produktif dikuasai para pemodal besar, sementara semakin banyak buruh tani tuna tanah bermigrasi ke kota,

kita bisa menyimpulkan sendiri bagaimana penguasa negeri ini menempatkan peran petani dalam produksi pangan...... .

kita bisa menyimpulkan sendiri bagaimana penguasa negeri ini menempatkan hubungan desa dan kota....

Justice for all !


Oleh: Bambang Prakoso (Anggota PMKRI Cabang Surakarta)

felix_0912@yahoo.com

Kembali ke Desa


Tantangan gerakan sosial ke depan : Kembali ke Desa (Part I)


Sebuah Pengantar Singkat

Hugo Chavez Frias pernah mengemukakan analisa singkat, tetapi tajam. Kira-kira bunyinya begini: "Bila ingin mengentaskan kemiskinan, berilah kepada si miskin kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan modal."


Apa yang hendak disampaikan oleh Chavez sebenarnya adalah kemiskinan disebabkan oleh tersingkirnya si miskin dari akses atas kekuasaan, akses ilmu pengetahuan dan akses terhadap modal. Ungkapannya adalah sekaligus penegasan bahwa kemiskinan bukan suatu fenomena yang ada dengan sendirinya, layaknya dalam dongeng yang menceritakan tentang bahagianya kaum bangsawan sebagai keturunan para Dewa dalam kegelimangan harta, sementara rakyat jelata keturunan manusia biasa, hanya bisa hidup menghamba. Ungkapannya sekaligus juga menunjukkan ada system sosial yang timpang dan cacat.


Sebenarnya ungkapan analitik dari Chavez di atas bukanlah suatu hal yang baru. Bila di masa sekarang Chavez getol mengkritik strategi kebijakan neoliberalisme yang menggilas rakyat kecil, beberapa decade yang lalu telah ada barisan intelektual yang mengkritik strategi kebijakan developmentalisme yang mandul dalam mengentaskan kemiskinan. Apapun strateginya, entah developmentalisme ataupun neoliberalisme, pada dasarnya menjalankan bentuk strategi yang sama. Sama-sama mengimani kredo trickle down effect, yang percaya bahwa peningkatan kesejahteraan pada segelintir orang akan meneteskan bulir-bulir kesejahteraan yang akan dinikmati orang banyak.


Juga, sama-sama menjadikan kota (urban) sebagai pusat bisnis dan pembangunan, dengan demikian daerah-daerah pinggiran (sub urban) dan desa (rural) akan berkembang sesuai tumbuh dan berkembangnya kota sebagai pusat kegiatan bisnis. Sudah saatnya kita menyadarkan diri dan dunia, bahwa strategi developmentalisme ataupun neoliberalisme GAGAL TOTAL ! OMONG KOSONG !


Kita bisa memelototi data-data dan fakta-fakta kemiskinan yang jumlahnya semakin berkembang tidak terkendali dari tahun ke tahun. Telah banyak diulas bahwa sekitar 200-an perusahaan raksasa, memegang lebih dari 70 % kekayaan dunia (kita bisa bayangkan hanya tersisa 30% kekayaan dunia untuk umat manusia di dunia yang tidak termasuk kelompok 200-an perusahaan raksasa tersebut).


Di Indonesia sendiri, data BPS maupun dinas pertanian pada tahun 2004, menunjukkan lebih dari 60% orang miskin di Indoensia terdapat di pedesaan. Ini menunjukkan bahwa sistem sosial yang ada di negara kita ini turut melanggengkan kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh sekelompok kecil saja, bahkan sering dengan gaya hidup yang memuakkan. Begitupun juga, menjadikan desa-desa sebagai kantong-kantong kemiskinan yang memang sengaja diabaikan, bahkan sengaja dihisap untuk kepentingan bisnis di perkotaan, metropolitan atau megapolitan.


Sebagai solusi bagi perubahan sosial di Indonesia, ada baiknya bila kita berpaling pada desa sebagai basis perubahan. Sekaligus sebagai upaya membalikkan strategi kebijakan pembangunan, yang secara sistematis menyingkirkan desa. Mengambil dari apa yang diungkapkan Chavez, perlu kita pikirkan bagaimana membangun kedaulatan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi desa yang selama ini tersingkirkan.


Kembali ke Desa Part II

Banyak kalangan berpendapat bahwa desa adalah simbol ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan. Bahkan pembawa acara sekaliber Tukul Arwana kerap kali menjadikan olok-olok "wong ndeso" sebagai senjata andalannya. Walaupun masih ada tokoh seperti Garin Nugroho yang mengkritik keras banyolan bergaya Tukul Arwana seperti itu, toh olok-olok "wong ndeso" masih laris manis. Demikian pula stigma bahwa orang desa itu bodoh, malas, sukar untuk diajak maju, dan ketinggalan jaman masih melekat dalam benak kebanyakan orang.

Tidak hanya di kalangan umum, kalangan akademis juga bertanggung jawab dalam reproduksi stigma terhadap orang-orang desa. Adalah ilmuwan sosial penganut aliran fungsionalisme yang mempunyai kesimpulan negatif terhadap fenomena ketertinggalan masyarakat desa. Kesimpulan mereka di antaranya menyatakan bahwa keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan adalah akibat :
-sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi,
-sulitnya untuk menerima teknologi baru,
-malas,
-tidak mempunyai motivasi yang kuat.

Hampir senada dengan yang disebutkan di atas, berdasarkan penelitiannya terhadap masyarakat tani di Jawa, Clifford Geertz menambahkan kesimpulannya terhadap keterbelakangan masyarakat tani di pedesaan Jawa adalah karena :
- merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan pokok yang paling dasar)
- budaya shared poverty (berbagi kemiskinan bersama)

Tentunya dengan pandangan dan kesimpulan seperti itu, para ilmuwan dan kaum cendekiawan semacam Clifford Geertz, menganggap bahwa masyarakat desa, khususnya tani di pedesaan, mengalami masa involutif (tidak berkembang, menuju kepunahan). Sangat bertolak belakang dengan budaya Barat yang dominan akan need for achievement (kebutuhan akan prestasi/pencapaian)

Kita tidak bisa sepenuhnya menyangkal kesimpulan Clifford Geertz atau para ilmuwan fungsional yang lain, akan tetapi kita bisa menunjukkan titik kelemahan pada analisa mereka. Kelemahan terbesar yang melekat pada aliran fungsional adalah pengabaiannya pada: sejarah perkembangan masyarakat dan struktur sosial yang ada dari masa ke masa.

Para pengkritik aliran fungsionalisme menyebutkan bahwa mereka hanya melihat masyarakat desa dalam ruang yang hampa. Seakan-akan lepas dari interaksi, dominasi, penaklukan dari struktur sosial yang lebih luas. Saya tidak yakin ilmuwan sekaliber Clifford Geertz, tidak menguasai tentang sejarah kekuasaan kolonial Belanda di tanah air ataupun sejarah kekuasaan kaum feodal, penguasa tanah pribumi.........

Saya tidak yakin bahwa kepiawaian mereka dalam merumuskan teori, tidak membuat mereka mampu melihat struktur sosial semacam apa yang sedang bekerja, yang mengakibatkan keterbelakangan kehidupan masyarakat desa.........

Malah bisa jadi mereka mengabaikannya...........
Mari kita buka kembali lembaran sejarah pedesaan di tanah air.............

Pada awal abad ke-19, Sistem Tanam Paksa diterapkan di tanah air oleh penguasa kolonial Belanda. Petani dipaksa oleh penguasa untuk menanam tanaman perdagangan (seperti kopi, kapas, tebu, dll) pada hampir 2/3 lahan mereka. Akibatnya, pada musim kering, dan produksi tanaman pangan kian menipis terjadi kelaparan yang meluas. Sejarawan Sartono Kartodirjo mencatat ribuan pribumi mati kelaparan pada bencana kekeringan ini.

Pada masa Liberalisme awal diberlakukan pemerintah Hindia Belanda di tanah air, petani yang sebagian besar hidup di pedesaan diwajibkan menyerahkan tanahnya untuk disewa perkebunan-perkebunan Belanda. Paksaan, intimidasi dan kekerasan yang dilakukan melalui para pamong praja, lurah dan penguasa feodal pribumi membuat petani tak berkutik dan terpaksa menyerahkan tanahnya dengan harga sewa yang jauh dari layak. Akibatnya banyak masyarakat tani di pedesaan terjerat hutang pada saudagar-saudagar kaya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Banyak yang terjerembab menjadi buruh tani tuna tanah, atau menjual anak-anak gadis mereka untuk membayar hutang. Fakta ini banyak dicuplik dalam beberapa novel Pramoedya.

Pada tahun 1960-an, banyak buruh tani yang ditangkap, dipenjarakan, dibui dan dikriminalisasi karena menuntut proses percepatan pembagian tanah yang adil sesuai dengan UUPA tahun 1960.

Bahkan di desa Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah, ratusan hektar tanah yang telah lebih dari 30 tahun didiami, dirampas untuk dijadikan lahan perkebunan karet yang dikelola PTPN IX. Pada masa revolusi hijau diterapkan di Indonesia, banyak petani di pedesaan terjerat hutang pada kaum tengkulak, karena diharuskan, dipaksa, seringkali dengan intimidasi, untuk membeli bibit padi unggul yang sudah disediakan pemerintah, untuk membeli pupuk kimia pendukungnya yang harganya tidak murah, dan lain-lain....

Nah, maka benarlah apa yang telah diungkapkan oleh para pengkritik kaum fungsional, bahwa yang menjadi masalah pada keterbelakangan masyarakat pedesaan tidak melulu karena kemalasan, ketidakmauan untuk beradaptasi terhadap budaya modern atau ketidak mampuan menerapkan teknologi.......

akan tetapi yang utama adalah masalah penguasaan, penaklukan, exploitation de l'homme par l'homme (penghisapan manusia terhadap sesamanya)........

Nah, mulailah untuk melangkah, membenahi sejarah pedesaan yang telah carut marut...
Minimal dengan menghilangkan olok-olok "wong ndeso" sebagai kebodohan, kemalasan...
Ingatlah, mereka hanya korban,
dan visi misi kita yang mengharuskan berjuang untuk "wong ndeso" (orang desa)..

Justice and humanity ! Now !

Change ! Now Or Never !

Oleh: Bambang Prakoso (Anggota PMKRI Cabang Surakarta)

Wednesday, September 3, 2008

SERUAN KAMPANYE DAMAI

SERUAN KAMPANYE DAMAI

AJI Damai (Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 16 partai politik peserta pemilu 2004 dan 22 partai politik baru sebagai kontestan dalam pesta demokrasi tahun 2009 mendatang. KPU juga sudah menetapkan bahwa tahap awal masa kampanye Pemilu 2009 dimulai tanggal 12 Juli 2008 sampai 5 April 2009.

Perhelatan akbar lima tahunan ini niscaya menjadi media pembelajaran politik bagi rakyat Indonesia sekaligus menentukan akan seperti apa wajah RI ke depan!Apakah akan semakin muram karena krisis multidimensi yang menghimpit, ataukah akan cerah kembali karena kebangkitan kesadaran berpolitik segenap anak bangsa berlandaskan hati nurani dan cinta-bhakti bagi Ibu Pertiwi?

Kampanye Pemilu 2009 yang diikuti 38 parpol tersebut dibagi dalam 3 zona. Pertama, meliputi wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kep. Riau dan DKI Jakarta. Kedua, meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Ketiga, meliputi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Pada tahap awal, kampanye dilakukan secara tertutup. Salah satunya dengan cara promosi parpol di media-media. Sementara kampanye yang melibatkan massa akan dimulai Maret 2009. Nah pada tahap inilah rentan terjadi gesekan horizontal diakar rumput. Namun demikian bukan berarti tahapan kampanye tertutup tidak memungkinkan lahirnya kekerasan. Sebab, bibit-bibit kekerasan bisa jadi sudah tersemai dalam tahapan ini hingga saat kampanye terbuka bibit kekerasan itu menjadi manifes. Artinya, ibarat api dalam sekam, bibit-bibit kekerasan yang tersemai di masa kampanye tertutup akan menemukan momentum dan bisa berlindung di balik kerusuhan massal yang akhirnya sulit diidentifikasi.

Masyarakat Jogja selama ini dikenal sebagai masyarakat toleran, berbudaya dan anti kekerasan yang terbukti tidak akan terpengaruh atas berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di belahan daerah lain. Maka, sudah sepantasnya menjelang Pemilu 2009 ini, seluruh elemen masyarakat Jogja "Menolak upaya-upaya provokatif yang akan mencederai Jogja sebagai city of tolerance dan anti kekerasan".

Oleh sebab itu, kami dari AJI Damai menyerukan kepada:

1. Partai Politik

a. Melaksanakan kampanye secara santun, mendidik dan penuh tanggung jawab demi mengembalikan martabat bangsa di mata internasional, menjaga keutuhan NKRI, menunaikan amanah Mukadimah UUD 1945 serta melakoni nilai-nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila! Tidak melakukan black campaign antar calon anggota legislatif

2. Semua stakeholder (KPU, Panwaslu, Aparat kepolisian) bertindak netral, proporsional dan profesional

3. Masyarakat
a. Agar berjejaring untuk satu kata menolak segala bentuk kekerasan dalam bentuk dan dalih apapun di wilayah DIY.
b. Mempergunakan hak memilih dan dipilih secara bijaksana, dengan cara mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
c. Mengenali dengan baik dan selektif terhadap calon legislative yang diajukan oleh parpol, dengan cara tidak memilih politisi busuk (terindikasi korupsi, kolusi, nepotisme)


* Tercatat ada 33 Lembaga bergabung