SAMPAH VISUAL DAN PRIVATISASI RUANG PUBLIK
Oleh: Romi Josenaldos Lalung
Universitas Respati Yogyakarta
Presidium Gerakan Kemasyarakatan
DPC periode 2014/2015
DPC periode 2014/2015
Menjamurnya
pemasangan poster dan baliho di pinggir jalan saat ini sudah menjadi lumrah.
Hal itu kita jumpai di beberapa kota besar di Indonesia. Sebagai salah kota besar,
Yogyakarta menjadi salah satu tempat dengan fenomena pemasangan poster dan baliho.
Poster dan baliho berukuran besar terpajang di jalan-jalan arteri kota
Yogyakarta.
Itulah
fenomena sampah visual. Sampah visual merupakan tampakan-tampakan visual yang
tidak berbudaya dan estetik di ruang publik. Sampah visual yang penuh sesak di
pinggiran jalan kota membuat kota tampak sesak dan tidak nyaman. Sampah visual
dengan berjubel iklan-iklan komersial dan politik membuat suram wajah kota.
Dalam
kaitannya dengan kota Yogyakarta, fenomena sampah visual kian menjadi suatu ironi
tersendiri. Yogyakarta berpredikat sebagai kota pendidikan, budaya dan pariwisata.
Sebagai kota pendidikan, budaya, dan pariwisata, Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) seharusnya mempertimbangkan aspek-aspek nilai budaya lokal dan
seni dalam memberi izin pemasangan baliho dan poster.
Baliho
dan poster berupa iklan ponsel, layanan seluler, pemasaran motor, fashion, kampanye
politik et cetera, merupakan sampah
visual. Iklan-iklan tersebut berjubel merebut tempat di ruang publik. Persis,
saat itulah jembatan, pohon-pohon, dan tiang listrik menjadi “korban” pemajangan
iklan. Hal itu tentu membuat miris wajah publik Yogyakarta, sekaligus membuat masyarakat
Yogyakarta tidak merasa aman.
Sampah
visual berpengaruh terhadap pandangan (gaze)
visual masyarakat, dan bisa berdampak pada sisi pikiran dan emosional. Sampah
visual adalah teror visual dalam masyarakat. Sumbo Tinarbuko dosen Desain
Komunikasi dan Visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pernah menjelaskan,
“fenomena sampah visual ini sudah menjadi teror visual di ruang publik” (Tempo.co,
2/2/2014). Sampah visual menjadi terror ansich
sebab membuat masyarakat dirajam oleh berbagai bentuk bujuk, rayuan, dan
propaganda yang tertulis atau pun tergambar dalam sampah visual itu.
Sikap masyarakat tentu tidak bisa hanya
pasif dan apatis. Masyarakat adalah korban dalam semua praktek itu. Oleh karena
itu, masyarakat harus melawan praktek eksploitasi ruang publik yang dimonopoli oleh
korporasi dan para aktor politik. Ruang publik
diubah menjadi ruang privat. Mereka telah menggunakan ruang publik untuk kepentingan
komersil, pribadi, dan golongan.
Di pihak lain sampah visual menjadi masalah bagi kebersihan
kota, sosial, budaya, dan pendidikan. Pertama,
kebersihan kota menjadi sangat terganggu dengan menjamurnya sampah visual.
Produk-produk komersil dan politik dipasarkan dengan begitu merajalela di ruang
publik kota. Kota kian menjadi tidak ramah dalam pandangan mata. Yang ada hanyalah
sampah yang bergelantungan sejauh mata memandang.
Kedua,
secara sosial, pengaruh dari pesan-pesan iklan sangat mengganggu
daya nalar masyarakat. Pesan-pesan iklan mengajak masyarakat untuk berprilaku konsumtif.
Konsumtivisme ini membuat masyarakat berprilaku pragmatis dan instan. Masyarakat
tidak lagi berproduksi, hanya membeli. Di sinilah tumbuh bibit-bibit kekerasan masyarakat
urban.
Ketiga, pengaruh sampah visual pada budaya masyarakat terlihat dalam
kebiasaan (habitus) yang tidak peduli
pada aras nilai budaya, seni, dan estetika. Ruang publik menjadi wajah kota
yang penuh “serigala” ekonomi yang bertarung. Segala cara dipakai demi mencapai
profit. Ruang publik pun menjadi tidak sehat dan tidak bebas. Padahal, mengutip
Jurgen Habermas, ruang publik seharunya bebas dari segala bentuk intervensi politik,
pasar, dan kebijakan yang tidak transparan.
Keempat, dari segi pendidikan, fenomena sampah visual memberikan
pengaruh yang buruk dalam proses belajar. Sebagai kota yang berpredikat kota pendidikan
dan barometer pendidikan nasional, adalah tidak elok apabila fenomena sampah
visual bertebaran di berbagai tempat. Para mahasiswa menjadi sasaran pemasaran bagi
para pemilik modal. Hal ini dilihat dari berbagai merk dagang yang memasarkan produk pada sasaran anak muda. Korporasi
mengkonstruksi anak muda untuk mengubah pola hidup menjadi konsumtif. Para
pemuda menjadi terganggu. Meraka tidak menjadi agen perubahan yang bergerak di
dunia kreativitas dan inovasi, tetapi lebih cenderung untuk menggunakan barang
(konsumen/user).
Dari berbagai uraian mengenai akibat permasalahan sampah
visual, menjadikan kota yang ramah dan berbudaya adalah tanggung jawab bersama.
Semua pihak harus bahu-membahu melawan kesewenangan; melawan eksploitasi ruang publik.
Ruang publik tidak boleh dibiarkan terprivatisasi oleh kepentingan komersil pun
politik. Pertama-tama, pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam membuat
peraturan pemasangan iklan di ruang publik.
Pemerintah harus lebih kuat untuk melawan determinasi korporasi. Dengan begitu,
produk aturan pun dapat menyelamatkan ruang publik dari gempuran iklan. Penataan
ruang tata kota harus berkonsep harmoni antara lingkungan hidup dan pembangunan
kota. Konsep kota yang berkelanjutkan bermula dari penerapan prinsip-prinsip ekologis
dalam proses pembangunan.
Kedua, masyarakat memiliki peranan penting bagi terciptanya
kota yang bebas akan sampah visual. Selama ini masyarakat cenderung apatis dan permisif
pada fenomena sampah visual. Kebiasaan masyarakat ini harus diubah demi
mewujudkan kota bersih tanpa sampah visual.
Akhirnya, ditujukan kepada pelaku pemasang iklan agar
tidak memasang iklan di ruang publik. Perilaku para pemilik modal ini sudah melanggar
hak-hak publik untuk mengakses ruang publik yang nyaman. Kota nyaman, semua aman!