Friday, August 21, 2015



SAMPAH VISUAL DAN PRIVATISASI RUANG PUBLIK

Oleh: Romi Josenaldos Lalung 

Universitas Respati Yogyakarta

Presidium Gerakan Kemasyarakatan 
DPC periode 2014/2015



Menjamurnya pemasangan poster dan baliho di pinggir jalan saat ini sudah menjadi lumrah. Hal itu kita jumpai di beberapa kota besar di Indonesia. Sebagai salah kota besar, Yogyakarta menjadi salah satu tempat dengan fenomena pemasangan poster dan baliho. Poster dan baliho berukuran besar terpajang di jalan-jalan arteri kota Yogyakarta.
Itulah fenomena sampah visual. Sampah visual merupakan tampakan-tampakan visual yang tidak berbudaya dan estetik di ruang publik. Sampah visual yang penuh sesak di pinggiran jalan kota membuat kota tampak sesak dan tidak nyaman. Sampah visual dengan berjubel iklan-iklan komersial dan politik membuat suram wajah kota.
Dalam kaitannya dengan kota Yogyakarta, fenomena sampah visual kian menjadi suatu ironi tersendiri. Yogyakarta berpredikat sebagai kota pendidikan, budaya dan pariwisata. Sebagai kota pendidikan, budaya, dan pariwisata, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) seharusnya mempertimbangkan aspek-aspek nilai budaya lokal dan seni dalam memberi izin pemasangan baliho dan poster.
Baliho dan poster berupa iklan ponsel, layanan seluler, pemasaran motor, fashion, kampanye politik et cetera, merupakan sampah visual. Iklan-iklan tersebut berjubel merebut tempat di ruang publik. Persis, saat itulah jembatan, pohon-pohon, dan tiang listrik menjadi “korban” pemajangan iklan. Hal itu tentu membuat miris wajah publik Yogyakarta, sekaligus membuat masyarakat Yogyakarta tidak merasa aman.
Sampah visual berpengaruh terhadap pandangan (gaze) visual masyarakat, dan bisa berdampak pada sisi pikiran dan emosional. Sampah visual adalah teror visual dalam masyarakat. Sumbo Tinarbuko dosen Desain Komunikasi dan Visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pernah menjelaskan, “fenomena sampah visual ini sudah menjadi teror visual di ruang publik” (Tempo.co, 2/2/2014). Sampah visual menjadi terror ansich sebab membuat masyarakat dirajam oleh berbagai bentuk bujuk, rayuan, dan propaganda yang tertulis atau pun tergambar dalam sampah visual itu.
Sikap masyarakat tentu tidak bisa hanya pasif dan apatis. Masyarakat adalah korban dalam semua praktek itu. Oleh karena itu, masyarakat harus melawan praktek eksploitasi ruang publik yang dimonopoli oleh korporasi dan para aktor politik.  Ruang publik diubah menjadi ruang privat. Mereka telah menggunakan ruang publik untuk kepentingan komersil, pribadi, dan golongan.
Di pihak lain sampah visual menjadi masalah bagi kebersihan kota, sosial, budaya, dan pendidikan. Pertama, kebersihan kota menjadi sangat terganggu dengan menjamurnya sampah visual. Produk-produk komersil dan politik dipasarkan dengan begitu merajalela di ruang publik kota. Kota kian menjadi tidak ramah dalam pandangan mata. Yang ada hanyalah sampah yang bergelantungan sejauh mata memandang.
Kedua, secara sosial, pengaruh dari pesan-pesan iklan sangat mengganggu daya nalar masyarakat. Pesan-pesan iklan mengajak masyarakat untuk berprilaku konsumtif. Konsumtivisme ini membuat masyarakat berprilaku pragmatis dan instan. Masyarakat tidak lagi berproduksi, hanya membeli. Di sinilah tumbuh bibit-bibit kekerasan masyarakat urban.
Ketiga, pengaruh sampah visual pada budaya masyarakat terlihat dalam kebiasaan (habitus) yang tidak peduli pada aras nilai budaya, seni, dan estetika. Ruang publik menjadi wajah kota yang penuh “serigala” ekonomi yang bertarung. Segala cara dipakai demi mencapai profit. Ruang publik pun menjadi tidak sehat dan tidak bebas. Padahal, mengutip Jurgen Habermas, ruang publik seharunya bebas dari segala bentuk intervensi politik, pasar, dan kebijakan yang tidak transparan. 
Keempat, dari segi pendidikan, fenomena sampah visual memberikan pengaruh yang buruk dalam proses belajar. Sebagai kota yang berpredikat kota pendidikan dan barometer pendidikan nasional, adalah tidak elok apabila fenomena sampah visual bertebaran di berbagai tempat. Para mahasiswa menjadi sasaran pemasaran bagi para pemilik modal. Hal ini dilihat dari berbagai merk dagang yang memasarkan produk pada sasaran anak muda. Korporasi mengkonstruksi anak muda untuk mengubah pola hidup menjadi konsumtif. Para pemuda menjadi terganggu. Meraka tidak menjadi agen perubahan yang bergerak di dunia kreativitas dan inovasi, tetapi lebih cenderung untuk menggunakan barang (konsumen/user).

Dari berbagai uraian mengenai akibat permasalahan sampah visual, menjadikan kota yang ramah dan berbudaya adalah tanggung jawab bersama. Semua pihak harus bahu-membahu melawan kesewenangan; melawan eksploitasi ruang publik. Ruang publik tidak boleh dibiarkan terprivatisasi oleh kepentingan komersil pun politik. Pertama-tama, pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam membuat peraturan pemasangan iklan di  ruang publik. Pemerintah harus lebih kuat untuk melawan determinasi korporasi. Dengan begitu, produk aturan pun dapat menyelamatkan ruang publik dari gempuran iklan. Penataan ruang tata kota harus berkonsep harmoni antara lingkungan hidup dan pembangunan kota. Konsep kota yang berkelanjutkan bermula dari penerapan prinsip-prinsip ekologis dalam proses pembangunan.
Kedua, masyarakat memiliki peranan penting bagi terciptanya kota yang bebas akan sampah visual. Selama ini masyarakat cenderung apatis dan permisif pada fenomena sampah visual. Kebiasaan masyarakat ini harus diubah demi mewujudkan kota bersih tanpa sampah visual.
Akhirnya, ditujukan kepada pelaku pemasang iklan agar tidak memasang iklan di ruang publik. Perilaku para pemilik modal ini sudah melanggar hak-hak publik untuk mengakses ruang publik yang nyaman. Kota nyaman, semua aman!

                          




MEMBANGUN PENDIDIKAN INDONESIA YANG MENCERDASKAN
Hendri Santoso
Jurusan Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Ketua Presidium 2014/2015


Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional indonesia. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhusussan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keturunan, dan pendidikan lainnya, serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat dipahami bahwa secara formal sistem pendidikan Indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan Indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan sekularisme, yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, temasuk dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Meskipun pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas  (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No. 20/2003 tentang sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, ”pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam pasal 20, pasal 21, pasal 28 c ayat 1, pasal 31, pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi lainnya seperti UU No.2/1989 tentang sisdiknas yang diamandemenkan menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang guru dan dosen, PP No No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah dipersiapkan oleh pemerintah.
Yang terbaik untuk pendidikan anak bangsa Indonesia ke depan adalah membangun budaya jujur kepada peserta didik. Pendidikan kita selama ini lebih mementingkan konten kurikulum dan sibuk dengan euforia prestasi di kancah dunia. Sistem pendidikan yang komprehensif harus memiliki pemahaman yang sama mengenai pembentukan lulusan yang memiliki kepribadian yang jujur. Kejujuran akan tercipta manakala terciptanya kenyamanan dalam proses pendidikan di sekolah.
Apa yang dilakukan pemerintah terkait dengan kurikulum 2013, hemat penulis adalah suatu bentuk pemborosan kebijakan. Penulis tidak mengatakan kurikulum 2013 itu jelek, tetapi tindak lanjut dari pemberlakuan kurikulum oleh pemerintah sangat kontra produktif. Contohnya persoalan buku ajar,  pemerintah kurang mempercayai kemampuan guru dalam melakukan eksplorasi sumber belajar, sehingga malah sibuk menerbitkan buku materi, modul materi yang sebenarnya itu adalah area kompetensi guru dan pemerintah tidak perlu terlalu mengintervensi guru untuk menggunakan sistem pembakuan buku. Lebih parah lagi pemerintah kurang sigap tentang bagaimana buku itu didistribusikan ke sekolah-sekolah di Indonesia. Kedua, banyak tindak lanjut berupa diklat-diklat sosialisasi yang ujungnya justru siswa terlantar tidak mendapat cukup pelayanan pengajaran dari guru karena para guru sibuk mengikuti diklat dan pelatihan yang notabene pasti banyak biaya yang dikeluarkan. Pelaksanaan diklat tersebut hanya menghabiskan anggaran dan pelaksanaan proyek semata ketimbang implementasinya dikemudian hari. Penulis beranggapan, sebaik apa pun kurikulumnya, maka garapan yang paling mendasar adalah langkah riil harian guru di dalam kelas.
Apabila dikaji lebih mendalam, muncul pertanyaan tentang apa dan siapa pangkal persoalan pendidikan di Indonesia. Menurut penulis, yang menjadi pangkal persoalannya adalah materi (baca: pelajaran) dan pelaku (baca: guru). Banyaknya pelajaran yang harus digeluti oleh peserta didik menjadikan proses belajar mengajar tidak efektif, karena persoalan keterbatasan peserta didika dalam menyerap dan memahami pelajaran yang disampaikan. Yang kedua adalah persoalan guru yang bermacam-macam jenis yang dominasinya, adalah tidak menarik dalam memberikan materi di depan siswa-siswinya. Seharusnya guru dibekali dengan berbagai metode dan gaya mengajar yang mampu menarik perhatian peserta didik, bukan sekadar menguasai materi. Untuk mencapai tahapan ini, dibutuhkan kreatifitas dan inovasi dari para guru, sekalipun penulis beranggapan, dibutuhkan waktu yang lama untuk mampu mencapai level tersebut. Penulis yakin, pemerintah berpikir dan menindaklanjuti tentang berbagai kekurangan guru dan menutup celah-celah kekurangannya agar pendidikan di Indonesia semakin menunjukkan peningkatan kualitas.